Tuesday, August 21, 2012

To Sweet to Forget


Hatchiiii…hatciiiiii…..hshshsshs…sluurpp…
Hatchciiiiii…hatchiiiiii……..sluuurpp…
Asiiin….

Beginilah kalau lagi bergelut dengan debu. Hidung ini meskipun lubangnya kecil saking peseknya, tetap saja alergi dengan debu.
Ceritanya hari ini lagi beres-beres kamar, menata yang semrawut mumpung lagi ada waktu luang disela-sela rutinitas show nyanyi, pemotretan untuk sampul majalah, ngisi materi diklat, penelitian, golf, balapan mobil, mancing, hunting foto, undangan pesta, arisan dan seabrek kegiatan  lainnya.
Pas lagi asik2nya bongkar pasang, ehh…ketemu 4 lembar kertas berisi tulisan cakar ayam. Saking ruwetnya sampe lupa kalo itu tulisan tangan sendiri, dan nyaris tak terbaca lagi.

Pada salah satu lembar kertas, di pojok atasnya tertulis “2 April 2011”, kemudian pada isi tulisannya selalu terdapat tulisan “sesi …” setiap lompat paragraf, dan setiap paragraf sering muncul kode “Q” dan “A…” yang kemudian saya tahu itu maksudnya inisial untuk “Question” dan “Answer”. Otak ini gak lemot-lemot amat dan dengan cepat sadar kalo kertas2 itu berisi catatan2 saat menyaksikan debat kandidat calon gubernur Sulawesi Tengah pada salah satu stasiun tv swasta nasional.

Ooo Mangge.., ooo ina….
Saya jadi ingat lebih setahun yang lalu saat pemilihan gubernur sulteng, terus terang saja waktu itu saya milih Rendi Lamadjido utk  jadi gubernur. Tidak ada hubungan famili dengan Rendi, ketemu juga belum pernah, pertama kali liat sosoknya saat debat kandidat itu saja, di tv pula. Saya tertarik dengan programnya untuk “membangun infrastruktur di pedesaan”. Menurut saya tawaran program itu masih lebih baik dan rasional daripada program-program yang ditawarkan kandidat lain. Sayangnya beliau tidak terpilih. Kalopun terpilih, entahlah…sebab banyak dijumpai di negeri Indonesia ini, janji calon tidak sesuai dengan kenyataan saat berkuasa.

Waktu itu, lebih setahun yang lalu para pasangan calon pemimpin di Sulawesi Tengah ini kelihatan begitu bersemangat meyakinkan masyarakat bahwa merekalah yang paling pantas memimpin daerah ini. Dan akhirnya….pasangan Longki Djanggola dan Sudarto lah yang paling banyak dipilih oleh masyarakat.

Apa yang mereka janjikan sehingga mereka bisa menang?
Adakah sudah terbukti janji-janji itu setelah setahun berlalu?

Pada saat diberi kesempatan untuk menyampaikan visi misi-nya, Pak Longki-Sudarto bertekad untuk mengembangkan Agro Industri, meningkatkan SDM, mereformasi birokrasi, menjalankan prinsip ekonomi kerakyatan, dan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.

Pengembangan agro industri…….
Secara sederhana pengembangan agro industri diartikan sebagai pengembangan industri yang menggunakan bahan baku pokok dari hasil pertanian. Misi ini sangat baik merangsang pelaku ekonomi sektor pertanian untuk berproduksi lebih maksimal karena tersedianya kepastian pasar yang dekat bagi produk-produk mereka. Dilihat dari sisi strategi kampanye juga sudah tepat karena lapangan kerja utama masyarakat di provinsi ini ada pada sektor pertanian (48,91%). Apa yang terjadi setelah setahun berlalu? Adakah ini cuma strategi kampanye semata?

Sepertinya tidak ada peningkatan yang signifikan atas capaian misi ini. Lihat saja data pertumbuhan ekonomi dari sisi produksi. Dalam setahun terakhir, pertumbuhan ekonomi sektor pertanian (5,34%), paling rendah diantara sektor-sektor lainnya. Bandingkan dengan sektor pertambangan/penggalian dan sektor konstruksi yang masing-masing tumbuh sebesar 34,25% dan 24,59%. Seharusnya saat kondisi agro industri ini sedang tumbuh-tumbuhnya, sektor pertanian juga tumbuh pesat karena outputnya digunakan untuk bahan produksi.

Ardin (2010), menggunakan tabel dasar Input-Output Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2005 untuk menemukan Angka Pengganda Output, Angka Pengganda Pendapatan, Angka Pengganda Tenaga Kerja, serta Indeks Keterkaitan Ke Belakang, dan Indeks Keterkaitan Ke Depan, dari seluruh sektor yang ada si provinsi ini. Hasilnya…, untuk sektor Industri Pengolahan Makanan yang merupakan salah satu komponen penting dalam pengembangan agro industri selalu berada dalam urutan 3 (tiga) besar bahkan untuk indikator Angka Pengganda Pendapatan, sektor ini menempati urutan teratas. Artinya memang sudah seharusnya pemerintah daerah ini fokus pada pengembangan agro industri.

Lalu mengapa data yang ada tidak menunjukkan adanya perkembangan di sektor yang menjadi misi utama saat kampanye ini?
Mungkin saja tidak ada program yang terarah untuk mengawal percepatan tercapainya misi ini. Kita tidak pernah mendengar adanya road map yang jelas dari pemerintah daerah untuk meningkatkan investasi agro industri. Regulasi dan kebijakan yang dibuat  “mungkin” belum mendukung upaya alokasi faktor produksi yang efisien, pemberian insentif  bagi investasi, pengaturan permodalan, dan kepastian hukum.
Banyak hasil pertanian yang diolah diluar wilayah ini, atau kalau pun tidak, hasil pertanian tersebut langsung dijual ke konsumen pengguna tanpa pengolahan lebih lanjut yang bisa memberi nilai tambah baru.

Meningkatkan SDM…
Paling mudah sebenarnya dengan melihat pada data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengukur 3(tiga) dimensi dasar pembangunan manusia yaitu kualitas kesehatan, pendidikan, dan PDB per kapita. Namun karena data terupdate tentang IPM ini hanya tersedia pada tahun 2010 maka data ini belum dapat digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah yang sekarang. Berdasarkan data tahun 2010, IPM di Sulawesi Tengah sebesar 71,14; masih berada di bawah rata-rata IPM nasional dan berada pada peringkat 22 dari 33 provinsi.

Coba kita lihat saja keseriusan pemerintah provinsi dalam peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan melalui alokasi dana APBD pada kedua bidang ini.
Jika pada tahun 2010 alokasi APBD untuk fungsi pendidikan porsinya 7,5% dari APBD, eehhh alih-alih meningkatkan SDM kok porsinya tidak ditambah malah dikurangi menjadi 7,46%. Jauh banget dari amanat konstitusi yaitu 20%. Belum diperoleh data untuk tahun 2012, tapi kayaknya amanat konstitusi belum terpenuhi.
Porsi anggaran untuk fungsi kesehatan saja yang meningkat dari 10% (2010) menjadi 11,6% (2011).

Reformasi Birokrasi…
Untuk yang satu ini kita lihat saja dari porsi APBD untuk membiayai belanja pegawai baik langsung maupun tidak langsung. Asumsinya reformasi birokrasi membuat biaya birokrasi jadi lebih murah karena adanya efisiensi. Selama 3 (tiga) tahun terakhir terjadi penurunan porsi anggaran untuk belanja pegawai yaitu dari 34,4% (2010) menjadi 33,7% (2011); dan terakhir menjadi 25% (2012). Good !!!

Bagaimana dengan misi, Ekonomi Kerakyatan….? Pembangunan Berkelanjutan…? Adoh…nanti jo dilanjut, so mo berangkat nonton bola ini

Yang jelas, Pak Longki dan pendukungnya, bukan mo maksud kase panas2 talinga ini. Sekarang Pak Longki sdh jadi Gubernur, so tantu kita semua harus dukung walaupun dulu pas pemilihan kita tdk pilih. Bukannya dulu pas waktu debat komiu bilang siap kalah dan mendukung siapa saja yang terpilih.
Selamat bekerja pak…sukses dan sehat selalu…

Sumber data diperoleh dari:
  1. www.sulteng.bps.go.id (diakses tanggal 10 Juni 2012);
  2. www.djpk.depkeu.go.id (diakses tanggal 10 Juni 2012);
  3. Bank Indonesia, 2012, Kajian Ekonomi Regional Prov. Sulawesi Tengah Triwulan I-

The Most Frightening Moment in My Life



Once upon a time on Jaisalmer Fort, Rajashtan, India.

Dog               : “Guuk…guuk…guuk…..guuk…guuk…!” (dog barking)
(Suddenly five of us runaway to save ourselves respectively. Unfortunately, he choose to hunt only me among my friends. I stuck at the corner of the fort. The dog come from behind me, very close and  he still barking me.)
(Fortunately, come a man who might be the owner of the dog)

Indian Man    : “Hey…#@*^7yvg ##@*-+^^#@irt7&ks#29*&5....huss..husshh...”
(He talk to the dog using Indian language)

Me                 : “Tell him to be quiet, please!”

Indian Man    : “ &%^%#$****$$%+_+JHU**IHT*&&…!!!!!.”
(and the dog left us)

Me                 : “ Thank you…I don’t know what will happen if you don’t come immediately, my brother”.

Indian Man    : “ Don’t worry, he just barking, he never attack human”

Me                 : “ But I was very scare…thank you brother…my name Ardin.”
(I reach my hand to shake)

Indian Man    : “ A***, are you Japanese?”

Me                 : “No, I’m from Indonesia”

Indian Man    : “Malaysia?”

Me                 : “No, Indo-nesia…close to similar, but they are different country”

Indian Man    : “I see…” (Shake his head to the right and left side). I never meet tourist from Indonesia before”

Me                 : “ You are so lucky now…(smile)”

Indian Man    : “ Yup…and do you like Indian girls?”

Me                 : “ Yes, they are beautiful. I often see them on bollywood movie.”
(I was very glad to hear his question. It seems like he offering something to me that I need)

Indian Man    : “ What do you call in Indonesia “breast” ?

Me                 : “ Sorry ?” (I couldn’t hear clearly what he said)

Indian Man    : “ Breast” (Then he touch my breast with his forefinger).

Me                 : “ Payudara……pa-yu-da-ra”

Indian Man    : “ What about ‘banana’? “

Me                 : “ Pisang…..pi-sang.”

Indian Man    : “ Do you like Indian banana?”

Me                 : “ I like banana, but I never see Indian banana.  What does it look like?”

Indian Man    : “ Longer than Japanese, bigger and harder. Do you want to see? Please come…follow me!”
(I follow him, I thought that he want to sell some Indian bananas. He stopped at a quiet place then leaning on the wall of the fort.)

Me                 : “ Where is the banana that you want to show me?”
(I began to feel suspicious and frightened)

Indian Men    : “ I hope you like it very much” (Then he began to open his trousers)

Me                 : “ Oh no..no..no…my God” ( I step backward, turn back, and run away from him)

Indian Men    : “ Hey…hey….Japanese…Japanese..!!!”

Damned…The owner more dangerous than his dog.

Pulau Menui dan Kerawanan Pangan




Menui berasal dari bahasa bugis ‘manu’ yang artinya ayam. Dulunya, saat pertama kali ditemukan oleh orang bugis, di pulau ini banyak terdapat ayam, sehingga dinamakanlah pulau Manu atau Manui. Menurut cerita penduduk setempat, yang pertama kali menemukan pulau ini sebenarnya adalah orang Bugis. Sebagai tanda bahwa mereka telah menemukan pulau ini, orang-orang bugis itu kemudian menancapkan besi payung di daerah tanjung. Akan tetapi, kemudian datang orang Bungku yang juga merasa telah menemukan pulau ini dan menancapkan besi berkarat di bawah besi payung yang telah ditancapkan sebelumnya oleh orang Bugis. Karena besi yang ditancapkan oleh orang Bungku lebih berkarat, maka kemudian dianggap bahwa orang Bungkulah yang pertama kali datang dan menemukan pulau ini. Konon begitulah ceritanya.

Secara administratif pulau ini masuk wilayah kabupaten Morowali, provinsi Sulawesi Tengah. Dalam seminggu, “biasanya” 3 kali jadwal kapal berangkat ke pulau ini dari Bungku (ibukota kabupaten Morowali) yang membutuhkan waktu tempuh sekitar 14 jam. Pulau Menui sebenarnya lebih dekat dengan Kendari (ibukota Sulawesi Tenggara), kurang lebih 5 jam dengan kapal laut. Itulah sebabnya sehingga aktivitas ekonomi penduduk Menui lebih banyak terhubung dengan kota Kendari. Frekuensi kapal penumpang pun lebih sering ke Kendari daripada ke Bungku.

Topografi wilayah Menui sebagian berupa bukit-bukit, mirip dengan bukit-bukit karst (kapur) yang ada di daerah Gunung Kidul, DIY. Di sini pun air bersih sangat sulit didapatkan. Pada beberapa desa yang berada di wilayah pesisir pantai, airnya terasa payau. Sedangkan pada daerah yang agak masuk ke pedalaman, air bersih diperoleh dengan menampung air hujan. Layaknya daerah karst pada umumnya, di Menui juga terdapat beberapa goa, salah satunya goa Kumapa. Dalam goa ini terdapat sumber air mengalir, yang sepertinya merupakan sistem sungai bawah tanah yang juga terhubung dengan goa-goa lainnya yang ada disekitarnya. Air yang keluar dari goa Kumapa inilah yang dimanfaatkan oleh penduduk desa Kofalagadi untuk keperluan sehari-hari. Air disalurkan ke desa Kofalagadi melalui pipa sepanjang ±2 km.


Ini sedikit cerita mengenai goa Kumapa. Goa ini berjarak kurang lebih setengah jam jalan kaki dari ujung desa Kofalagadi. Di sekitar goa banyak kuburan kuno. Menurut warga, di sekitar goa inilah dulunya nenek moyang orang Menui pertama kali membangun pemukiman. Mungkin karena disini sumber air cukup melimpah. Tempat ini termasuk dikeramatkan oleh penduduk sekitar sehingga sering dijadikan tempat bertapa. Di dalam goa terdapat ornamen-ornamen yang pada umumnya biasa terdapat dalam goa seperti stalaktit, stalagmit, dan kanopi. Terdapat dua buah stalagmit yang saling berdempetan dan agak membulat sehingga mirip (maaf) payudara, sehingga oleh penduduk disebut nisan perempuan dan di dekatnya terdapat pula sebuah stalagmit yang lebih tinggi dan agak lonjong mirip (maaf lagi) penis, sehingga disebut nisan laki-laki. Banyak ornamen goa yang sudah rusak karena memang sengaja diambil oleh penduduk. Stalaktit banyak yang telah dijadikan batu nisan oleh penduduk. Padahal proses pembentukan ornamen-ornamen goa memakan waktu yang sangat lama, bisa ratusan bahkan ribuan tahun. Ingatlah selalu pesan ketika akan masuk goa “Take nothing but pictures, leave nothing but footprints, and kill nothing but time”. Selanjutnya mari kita nyanyikan lagu ‘Syukur’ dan ‘Indonesia Raya’. Lho…?

Tidak jauh dari goa Kumapa, terdapat sebuah goa lagi yang tidak kalah menariknya kalau kita mendengar ceritanya. Di goa ini terdapat beberapa tengkorak manusia dan tulang belulang lainnya. Selain itu juga terdapat perabot-perabot dan alat-alat yang digunakan orang-orang pada jaman dahulu. Namun saat ini yang tertinggal hanya tengkorak manusia dan tulang2 saja, sedangkan alat2 dan perabot lainnya sudah diambil oleh oleh tangan-tangan panjang. Sangat sulit untuk menemukan pintu masuk goa, karena penduduk Menui sendiri jarang sekali yang pernah masuk ke goa ini.

Sulitnya air tawar di pulau ini, dan jenis tanah yang tidak mendukung untuk ditanami padi, maka di Menui tidak ada sawah. Jenis tanaman bahan makanan pokok yang ditanam adalah jenis umbi-umbian (singkong/ubi dan talas). Dua jenis makanan pokok ini hampir selalu tersedia di meja makan orang Menui, baik dalam bentuk asli maupun olahannya. Jika mereka sedang kedatangan tamu, maka biasanya selain dua makanan pokok asli Menui tersebut, tersedia pula nasi. Orang Menui, terutama generasi tuanya lebih memilih makan singkong dan talas  dibanding nasi.

Beragamnya makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh penduduk Menui membuat mereka lebih tahan terhadap krisis pangan (beras). Selama ini pangan pokok dalam mindset kebanyakan orang di Indonesia adalah beras. Sehingga upaya pemerintah untuk tetap memelihara ketahanan pangan adalah dengan memelihara stok beras agar selalu aman dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat. Pembangunan dengan perencanaan dan mindset yang terpusat tanpa memperhatikan kearifan lokal adalah bentuk penjajahan yang terselubung. Penduduk Menui dan papua yang doyan makan umbi-umbian; Palopo dan Maluku yang doyan makan sagu; Gorontalo yang doyan makan Jagung diperkosa seleranya oleh pemerintah.


Berapa puluh tahun lalu, kita sering mendengar istilah intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Tujuan program-program pemerintah itu adalah peningkatan produksi beras. Diasumsikan semua penduduk makan beras. Tersebutlah pada waktu itu Indonesia berhasil swasembada beras, bukan swasembada pangan. Saat inipun beras masih jadi perhatian utama, sehingga menyita perhatian bagi sumber pangan yang lain.

Bayangkan jika generasi muda Menui sekarang sudah tidak mengkonsumsi umbi-umbian lagi, beralih ke beras dan menjadi sangat tergantung dengan beras padahal daerah mereka tidak bisa ditanami padi. Maka jika krisis beras terjadi, bencana kelaparan juga bisa terjadi. Pemerintah baik pusat dan daerah harus bisa memperhatikan dan mengembangkan pangan lokal. Keuntungan yang dimiliki oleh daerah yang memiliki potensi pangan pokok lokal adalah ‘kelenturan’ penduduknya dalam memilih pangan pokok selain beras, sehingga jika salah satu jenis pangan mengalami kelangkaan maka dengan mudah penduduknya bisa beralih ke jenis pangan lain. 

Penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta ini harus dibiasakan mengkonsumsi pangan selain beras. Bertumpu pada pangan tunggal (beras) akan rawan terhadap gangguan pangan. Dalam banyak hal, seragam tidak lebih baik daripada beragam.

Yang menguasai pangan akan menguasai dunia. Kedaulatan pangan akan membebaskan negara dari ketergantungan pada negara lain. Suharto bisa jatuh pada gerakan reformasi yang salah satunya didorong oleh situasi kerawanan pangan saat itu. Satu-satunya pilihan politik bagi negara kaya sumberdaya seperti Indonesia adalah tidak ada warga negara yang lapar.


Di Menui, jangan tanya soal ikan. Berada di perairan Laut Banda yang kaya sumberdaya ikan menjadikan ikan adalah pemandangan sehari-hari di meja makan. Mungkin karena segarnya, penduduk biasanya tidak lagi mengolah ikan dengan dimasak. Salah satu jenis ikan yang enak dimakan mentah adalah ikan yang oleh penduduk dinamakan ikan Batuoda. Menurut penduduk Menui, ikan ini khas (endemik) Menui, hanya ada di perairan sekitar pulau Menui.

Pulau Bangkurung dan Tragedy of The Commons




“ Nama saya Ibrahim, tenaga honorer, hanya lulusan SMA tetapi saya mengajar Matematika di SMP dan beberapa SD di Pulau Bangkurung. Sebagai penambah penghasilan, saya juga menjadi tukang kayu dari rumah ke rumah sehingga hampir semua orang di pulau Bangkurung kenal dengan saya” Kata Ibrahim

Itulah awal perkenalan saya dengan seseorang yang kemudian akan menjadi ‘guide’ saya di pulau Bangkurung. Kami berkenalan di atas sebuah kapal kecil (bodi) dalam perjalanan  dari pulau Banggai menuju ke pulau Bangkurung. Perjalanan dari Banggai ke Bangkurung memakan waktu sekitar 4-5 jam. Kota Banggai memiliki dermaga pelabuhan terbesar di kabupaten ini dan menjadi  dermaga penghubung (hub-port) dengan dermaga kecil lainnya yang ada di kabupaten yang wilayahnya terdiri atas pulau-pulau ini (342 pulau). Berbagai ukuran alat transportasi laut dapat berlabuh di pelabuhan Banggai, mulai dari kapal berukuran besar yang dioperasikan oleh PT. Pelni sampai kapal angkutan kecil (bodi batang) terbuat dari kayu yang dapat memuat sekitar 10 orang penumpang.

Tepat pukul 10 pagi, kapal kami meninggalkan pelabuhan Banggai. Selama perjalanan saya berusaha mendapatkan informasi tentang pulau Bangkurung dari pak Ibrahim, kenalan baru saya. Maklum ini pertama kalinya saya ke pulau ini. Kami bercerita dengan nada suara yang tinggi, sambil sesekali mencondongkan badan ke lawan bicara berusaha menangkap setiap kata2 yang keluar diantara bising suara mesin kapal. Beruntung sekali saya bertemu orang yang cukup terkenal di bangkurung ini, karena ternyata rencana awal saya keliru. Menurut beliau saya tidak perlu ke desa Lantibung yang merupakan ibukota kecamatan, karena seluruh sasaran dari tugas kantor saya ada di desa Kalupapi. Pukul 15 sore, kapal tiba di dermaga desa Kalupapi. Pak Ibrahim yang sebelumnya hendak meneruskan perjalanannya ke Lantibung, akhirnya turun juga di desa ini demi menemani saya terlebih dahulu.


Desa Kalupapi merupakan salah satu desa yang ada di pulau Bangkurung. Rumah-rumah penduduknya sebagian besar berdiri di atas tanah hasil urug (reklamasi pantai) yang mengelilingi sebuah teluk kecil. Adapula rumah penduduk yang berdiri pada tiang-tiang di atas air laut, layaknya rumah sebagian besar suku bajo. Penduduknya termasuk multi etnik dimana sebagian besarnya merupakan suku asli Banggai, Bajo, dan Bugis.  Mata pencaharian utama penduduk adalah nelayan, disamping adapula yang memiliki kebun terutama kopra. Migrasi penduduk dari dan ke pulau ini setiap hari dilayani oleh sebuah kapal (bodi) kecil. Pasar hanya ada seminggu sekali yaitu setiap hari rabu, saat itulah pedagang-pedagang dari luar pulau yang sebagian besar orang bugis datang menggelar dagangannya di desa ini.


Di pulau Bangkurung tidak ada penginapan, tidak ada jaringan listrik PLN, dan tidak ada jaringan ponsel. Jadilah saya setengah mengemis meminta penduduk agar bersedia menampung saya di rumahnya untuk beberapa hari ke depan. Alhamdulillah, seorang kepala SD bersedia menampung saya di rumahnya. Setelah memastikan hidup saya aman dan terjamin di desa ini, pak Ibrahim kemudian pamit melanjutkan perjalanannya ke desa Lantibung menggunakan katinting (perahu bermotor). Saat itu sudah jam sepuluh malam.
 
Keesokan harinya, setelah aktivitas utama saya selesai…saya berjalan mengelilingi desa seorang diri, bahkan sampai ke desa tetangga yaitu desa Bone-Bone. Penduduk pulau ini cukup ramah, namun tetap berkesan menjaga jarak dengan orang yang baru mereka kenal. Karena penasaran dengan sikap warga yang seperti menjaga jarak itu, sesampainya di rumah kepala SD, hal itu saya tanyakan kepada beliau, dan ternyata menurut beliau saya dikira sebagai petugas yang sedang  memantau maraknya pengeboman ikan di sekitar pulau ini. Di kabupaten Banggai Kepulauan, pengeboman ikan masih cukup marak sampai saat ini. Itulah sebabnya banyak terumbu karang yang rusak akibat aktivitas ini. Sangat disayangkan…

Sebagian besar bahkan hampir seluruh nelayan di pulau ini merupakan nelayan tangkap. Gejala overfishing sudah mulai nampak, nelayan mengeluhkan hasil tangkapan yang semakin berkurang apalagi biaya melaut semakin besar. Entahlah, apakah overfishing sebagai akibat dari pengeboman ikan atau sebaliknya pengeboman ikan dilatarbelakangi kondisi yang sudah overfishing, tidak cukup waktu bagi saya untuk tahu sejarahnya. Ketika laut dan isinya dianggap sebagai common property (milik bersama) sehingga kecenderungannya dapat bersifat sangat open acces (terbuka pemanfaatannya bagi siapa saja), maka rasionalitas individual yang berusaha memanfaatkan laut secara optimal bagi kebutuhannya sendiri dapat merusak keberlangsungan pemanfaatan sumber daya itu sendiri.

Keserakahan yang bahasa halusnya bisa dibungkus dengan ‘rasionalitas individual’ sangat sulit dibatasi pada pengelolaan sumber daya milik bersama. Siapa mau mengawasi siapa? Buat apa buang energi untuk saling mengawasi, maka logika yang lebih masuk akal adalah mari kita berlomba memanfaatkannya bagi sebesar-besar kemakmuran kita masing-masing karena yang tersedia sangat terbatas dan akan habis pada waktunya nanti (prinsip rivalitas). Yang menang adalah yang berhasil ‘menangkap ikan’ paling banyak. Hancur dunia….

Kalau ada yang bilang “persoalan di laut jangan dibawa di darat” sangatlah beralasan sebab memang persoalan di laut berbeda karakteristiknya dengan di darat. Hampir semua sumber daya yang ada di darat jelas kepemilikan individualnya (private property). Mengambil pisang di kebun Pak Sukri tanpa sepengetahuan pemiliknya bisa-bisa kena hukum atau kena bacok, tetapi menangkap ikan bisa dilakukan di laut mana saja asal gak ke sampai Malaysia atau wilayah kedaulatan negara lainnya.

Pengelolaan sumber daya milik bersama (common property) memerlukan kesadaran kolektif demi keberlangsungan pemanfaatannya. Kesadaran bisa saja tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat tanpa campur tangan pihak luar, biasanya muncul ketika mulai ada masalah. Namun jika kesadaran yang ditunggu-tunggu tidak juga kunjung hadir sementara sumber daya alam semakin terkuras habis, sebelum semakin parah, regulasi yang tepat sasaran sangat mendesak keberadaannya untuk memaksa timbulnya kesadaran masyarakat. Regulasi yang baik dihasilkan dari perencanaan yang baik, dan perencanaan yang baik melibatkan masyarakat (sekitarnya). Dapat saja terjadi pemerintah tidak perlu membuat regulasi, tetapi merangsang masyarakat yang berkepentingan agar secara kolaboratif menyusun sendiri manajemen pengelolaan lautnya. Yang diperlukan dari pemerintah hanya pengakuan dan dukungan atas manajemen kolaboratif masyarakat setempat tersebut. Peran lembaga adat bisa diberdayakan. Modal sosial (social capital) orang indonesia masih cukup besar kok.

Heh…kenapa jadi serius gini? Ya begitulah yang terjadi di Bangkurung, terumbu karang banyak yang rusak karena pengeboman ikan, regenerasi ikan macet, jumlah tangkapan nelayan semakin lama semakin menyusut. Itulah cerita-cerita yang saya dengar selama berada di sana. Konon katanya pula, ikan hasil pengeboman berbeda secara tampilan fisik dengan hasil tangkapan konvensional. Ikan hasil pengeboman cepat membusuk, mata ikan juga seolah-olah membesar dan mendesak keluar, jika ditekan dagingnya lembek. Weleh…weleh…weleh…di laut pun ada teroris.
Saya tidak terlalu memaksakan diri untuk melakukan banyak aktivitas eksplorasi fisik selama di Bangkurung karena saat itu bertepatan bulan Ramadhan. Saya lebih banyak fokus beribadah (gubraks tuing…tuing…pusing gak lu?).  Semoga amal ibadahku diterima di sisi-Nya, amin….

Momen paling mengharukan adalah ketika hari itu adalah hari terakhir dalam rencana kunjungan saya ke pulau itu. Sejak start dari rumah tempat saya menginap, ada 4 orang yang mengantarkan menuju dermaga, 2 dos ikan asin pemberian warga juga turut serta diangkut. Dalam perjalanan menuju dermaga,  4 orang itu berhasil mengajak serta warga lainnya sehingga ada sekitar 8 warga yang mengantar ke dermaga. Semuanya sudah saya kenal sebelumnya karena hampir tiap malam selepas shalat tarwih kami bermain domino/gaplek bersama. 8 orang itu belum termasuk anak2 kecil yang mengawal di depan rombongan kami. Ketika sampai di dermaga, pengemudi kapal (bodi) bertanya berapa orang yang berangkat? Ternyata hari itu hanya ada satu calon penumpang, yaitu saya sendiri. Dan kapal pun tidak jadi berangkat.


Kabar segera tersiar ke seluruh desa kalau saya belum jadi pulang dan sampai ke telinga seorang pemilik kapal nelayan. Beliau lalu menawarkan untuk menumpang di kapalnya ikut anak buahnya mengantarkan ikan hasil tangkapan menuju Luwuk. Dari rencana awal berangkat jam 9 malam, molor jadi jam 1 pagi karena menunggu bulan muncul. Rupanya cahaya bulan dijadikan penerangan selama perjalanan karena kapal tidak memiliki lampu sorot.

Dua jam pertama belum ada masalah, air lautpun cukup tenang. Sampai tiba2 sekitar pukul 3 pagi seseorang membangunkan kami semua karena ternyata kapal mengalami kebocoran, air muncrat keras dari dasar kapal, saat itu ketinggian air dalam kapal sudah hampir selutut orang dewasa. Rupanya salah satu sambungan pipa mesin ke badan kapal terlepas, air laut masuk melalui sambungan yang terlepas itu. Dua orang berusaha keras menutup kebocoran kapal dengan kain seadanya, 4 dari 5 org yang tersisa berusaha mengeluarkan air yang telah masuk ke dalam kapal, saya sendiri bingung mo ngapain. Panik? Iya pastinya.

Beruntung sekali ada pulau kecil terdekat yang bisa segera kami jangkau untuk menepi dan memperbaiki kebocoran. Akhirnya diputuskan untuk melepas salah satu dari dua baling2 kapal agar kebocoran dapat ditutupi dengan sempurna. Dua orang silih berganti menyelam memperbaiki bagian bawah kapal, padahal saat itu air laut sangat dingin.
Butuh waktu hampir sejam untuk menutup kebocoran. Ketika matahari mulai muncul, gelombang laut mulai tinggi dan besar, beruntung kebocoran sdh dapat diatasi. Karena hanya menggunakan satu baling2 kapal, waktu tempuh yang biasanya hanya 8 jam, saat itu kami tempuh dalam 15 jam. Saat berada di antara pulau Peling dan Pulau Sulawesi (Luwuk), kapal kami berkali-kali dihantam gelombang laut yang tinggi. Pengemudi kapal berkali-kali bermanuver untuk mengatasi gelombang tinggi yang datang. Lewat pukul 16.00 kapal kami tiba di pelabuhan pelelangan ikan di kota Luwuk.

Sewot di KL



Setelah melakukan pembagian keuntungan dan perhitungan hutang piutang, saya bersama “my partners in crime” memutuskan untuk saling memisahkan diri dan memilih “jalan hidup” masing2. New Delhi Railway Station menjadi saksi perpisahan kami setelah selama hampir 2 pekan menikmati musim panas di India. Ada yang ke utara mencari salju, ada yang memilih tetap di Delhi demi menonton Transformer, ada yang mencarter becak seharian penuh, ada yang segera mencari guest house untuk istirahat, mandi dan buang air; sementara saya sendiri memilih meninggalkan India dan ngadem di Malaysia selama 3 hari.

Seperti halnya pelancong kelas kere lainnya, saya memilih menginap di sebuah guest house murah seputaran daerah Bukit Bintang di Kuala Lumpur (KL), walaupun belum bisa memecahkan rekor murahnya salah satu guest house ketika saya di India (40 rupee = ± Rp. 8.000/ org)

Bukit Bintang (BB) adalah tempat kebanyakan para turis biasanya menginap selama di KL. Mirip-mirip jalan Jaksa-nya Jakarta, tetapi BB jauh lebih ramai turisnya. Tidak ada yang menarik untuk dikisahkan mengenai pengalaman saya selama di KL, selama 3 hari saya hanya muter2 kota KL sendirian. Kalau saya hitung2, Petronas Twin Tower hanya bisa membuat saya kagum tidak lebih dari 3 menit, begitupun Genting Highland, apalagi Batu Cave (sy gak ke tempat ini, hanya liat gambarnya saja di brosur). Saya lebih menyukai berjalan-jalan sepanjang trotoar di KL yang nyaman tanpa fivefeet itu, hingga tiba saat saya lelah dan haus.

Bermodalkan segelas kopi Setarbak, saya duduk2 sambil memandangi orang yang lalu-lalang, menikmati suasana sore hari di KL. Sempat juga muncul harapan dideketin sama turis cewek yang lagi jalan sendirian. Nihil…wajahku kurang ngejual banget di sini beda ama di kampung. Berbagai tipe penampilan orang lewat di depan saya, mulai dari yang bercadar sampai yang bercelana pendek, mulai dari yang berkulit putih sampai yang se item2nya, berbagai tipe suku bangsa mungkin ada di sini, pun Indonesian dan mereka adalah turis, dan saya pun sewot jadinya. Kenapa begitu banyak turis yang berkunjung ke negara ini? Kenapa gak ke negara saya aja? Lho…saya sendiri ngapain ke sini?

Tahun 2010, Malaysia masuk dalam daftar World’s Top 10 Tourism Destination. Waw…spektakuler, fantastis, bombastis, haiyahhh. Pandangan saya lalu menerawang membayangkan kenyataan ini, kenapa Indonesia gak bisa? Apa yang hebat dari Malaysia dan apa yang salah dengan saudara tuanya Indonesia? Indonesia jauh lebih luas, pulaunya jauh lebih banyak, peninggalan budayanya beragam, harga-harga lebih murah.

Kopi sudah tidak setengah lagi, tapi saya sudah setengah putus asa mencari-cari penyebabnya ketika tiba-tiba nongol setitik terang ditengah kegelapan walau hanya berupa dugaan. Dari sekian yang sempat muncul di otak saya, kayaknya ini yang paling menarik untuk diamati.

Adakah hubungannya keberadaan Lower Cost Carrier dengan ini semua? Agar tidak ngelantur ngomongnya dan sekedar cerita pepesan kosong tanpa dukungan bukti yang kuat, saya harus memperoleh data-datanya dulu sebelum bercerita panjang lebar dan membuktikan dugaan saya itu. Segera saya menghabiskan sisa kopi dan bergegas mencari Internet CafĂ© terdekat…..(to be continued)

Sabar, Jujur dan Ikhlas


“Kalau berbohong pada orang lain mungkin masih ada untungnya, tapi membohongi diri sendiri apa untungnya”
Mungkin inilah yang menjadi dasar strategi pemikiran Kemdiknas sehingga meluncurkan program Evaluasi Diri Sekolah (EDS). Program ini merupakan salah satu upaya penjaminan mutu pendidikan di Indonesia. Inti dari program ini adalah sekolah mengevaluasi dirinya sendiri tentang kinerja dan capaiannya terhadap 8 (delapan) standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan melalui PP No. 19 Tahun 2005. Hasil evaluasi diri sendiri ini kemudian dijadikan dasar pertimbangan bagi sekolah dalam menyusun rencana kerja sekolah. Tentunya rencana kerja sekolah yang akan disusun merupakan serangkaian kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan sekolah terhadap standar-standar yang telah ditetapkan.

Kejujuran sekolah adalah mutlak diperlukan. Tanpa kejujuran, mustahil bagi sekolah untuk melakukan perbaikan mutu dan kinerjanya sendiri. Evaluasi internal berbeda dengan evaluasi dari pihak eksternal sekolah, dimana pada evaluasi eksternal, pihak sekolah akan cenderung mengada-ada demi memperoleh penilaian yang baik.

Dari namanya, “Evaluasi Diri Sekolah” , seharusnya kegiatan ini dilakukan sendiri oleh sekolah melalui Tim Pengembang Sekolah secara berkelanjutan. Namun Kemdiknas membuat kebijakan bahwa pada tahap awal sekolah perlu pendampingan dari orang-orang yang sebelumnya telah dibekali pengetahuan dan keterampilan dalam mengisi instrumen EDS. Cara ini menurut saya kurang efektif jika dibandingkan dengan memberikan pelatihan cara pengisian instrumen secara langsung ke pihak sekolah. Apalagi tidak ada standar kompetensi bagi seorang pendamping untuk melakukan pendampingan. Mungkin pertimbangan efisiensi, tapi gak juga kok, bedanya hanya pendamping yang ke sana atau perwakilan sekolah yang ke sini, biaya operasionalnya gak beda jauh. Ya sudahlah...tapi ya itulah…

Perkenalkan…nama saya sebenarnya “Ardin”, di dunia maya lebih panjang “Ardinbanget”, sedangkan di dunia hiburan dikenal sebagai“Doni”. Sebagai salah seorang yang juga ditunjuk sebagai pendamping sekolah dalam pengisian instrumen EDS, saya ingin membagi tips tentang cara melakukan pendampingan berdasarkan pengalaman (padahal cuma nubie) selama 8 hari ini:
  1. Sebelum melakukan pendampingan, siapkanlah semua peraturan terutama yang menyangkut Standar Pelayanan Minimal (SPM), Standar Nasional Pendidikan (SNP), Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), kalau perlu juga UU Sisdiknas, kemudian bacalah dan pahami.
  2. Buatlah catatan rincian dari masing-masing 8 standar pendidikan tersebut agar lebih riil sehingga memudahkan membandingkan dengan kenyataan tingkat ketercapaian sekolah (hal ini untuk memudahkan mengisi kolom bukti fisik dan ringkasan deskripsi)
  3. Pada tahap awal jelaskan manfaat EDS, kalau perlu putarkan film tentang testimoni-testimoni dari sekolah yang telah melakukan EDS
  4. Tekankan selalu kejujuran dan keikhlasan pada Tim Pengembang Sekolah serta jelaskan manfaat kejujuran
  5. Tekankan pula bahwa kegiatan ini bukan merupakan bentuk penilaian kinerja dari pihak eksternal, sehingga pendamping juga seolah-olah berperan sebagai anggota TPS. Hindari sikap menggurui (Guru kok digurui)
  6. Tidak perlu membuang-buang waktu dengan menanyakan keberadaan dan kebenaran isi bukti fisik, percayalah bahwa mereka telah jujur
  7. Bacalah dengan seksama dan hati-hati tiap indikator, temukan kata kuncinya
  8. Wawancara dapat dijadikan sebagai bukti fisik oleh TPS
  9. Gali dan temukan sebanyak-banyaknya ringkasan deskripsi, terutama mengenai kelemahan dan kekurangan
  10. Tentukan bersama-sama tahapan pengembangan dan buatlah rekomendasi berdasarkan ringkasan deskripsi dan tahapan pengembangan.
  11. Hindari membuang-buang waktu dengan membuat ringkasan deskripsi yang terlalu bernuansa kuantitatif
  12. Ingat bahwa produk akhir dari EDS adalah penyusunan program/rencana kerja sehingga saat merumuskan rekomendasi sudah harus terbayangkan program/kegiatannya.
  13. Targetkan dan umumkan bahwa seluruh kegiatan berakhir sehari sebelum batas akhir
  14. Untuk mempermudah dan menyingkat waktu, bagi TPS menjadi 8 tim sesuai jumlah standar, kemudian hasil kerja diplenokan
  15. Usahakan melibatkan pengawas lebih aktif
  16. SABAR dan IKHLAS
  17. ………..
Bagi yang ingin menambahkan dan punya pengalaman berbeda sila di sharing
Selamat bekerja, mohon maaf atas segala kekurangan,usikum wanafsi bitakullah, wabillahi taufik walhidayah, wassalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Maaf Pak Gubernur

Salah satu contoh dari seorang ‘ahli’ yang gagal menurut saya adalah Fauzi Bowo (Foke). Pada masa pencalonannya sebagai gubernur dulu beliau terkenal dengan slogan kampanye “ Macet, Serahkan Pada Ahlinya”. Kemudian apa yang terjadi, setelah ditangani oleh yang katanya ahlinya, kemacetan Jakarta justru semakin parah. Kemarin pagi saja (Senin, 30/8) untuk sampai di Mampang dari Margonda (Depok), saya bersama sopir saya (taxi; red) butuh waktu hampir 3 (tiga) jam. Jam 5 pagi saya sdh keluar rumah dan baru tiba di Mampang hampir jam 8, padahal jika tdk macet waktu tempuhnya bisa kurang dari 30 menit (kapan sie gak macet? Tengah malam kaleee…).

Kemarin saya mengakui telah melakukan blunder dengan memilih menggunakan taxi. Biasanya saya menggemari tranportasi massal bebas hambatan seperti KRL dan Busway, namun karena tujuan saya kali ini tidak ‘connected’ dgn dua alat transportasi ini maka saya pun lebih memilih menggunakan taxi. Gitu deh…

Jika diurutkan berdasarkan preferensi saya, KRL adalah alat transportasi idola pertama, kemudian disusul berturut-turut oleh Busway, Bus/Metromini, Ojek, Bajaj/Bemo, dan terakhir Taxi. Dari urutan preferensi ini dapat ditebak bahwa saya berasal dari golongan ekonomi lemah yang sok menuntut ketepatan waktu. Memang dari semuanya tidak ada yang bisa menjamin ketepatan waktu, tetapi KRL dan Busway yang memiliki jalur khusus masih bisa sedikit diandalkan, sedikit lho. Jangan tanya tentang kendaraan pribadi, satu-satunya alat transportasi pribadi yang saya miliki adalah sebuah sepeda ‘onthel’ antik yang sekali-sekali saya gunakan juga ke tempat kerja ketika saya kerja di Sulawesi. Pernah punya sepeda motor, tetapi karena terdesak kebutuhan, akhirnya dijual juga.

Kembali ke soal macet, sopir (baca: taksi) saya yang kemarin justru ngotot menyalahkan Busway yang menjadi penyebabnya. Menurutnya Busway telah mengambil sebagian bahu jalan sehingga mempersempit ruang gerak bagi kendaraan umum lainnya. Apalagi sejak Pemda DKI menerapkan sanksi tegas kepada kendaraan lainnya yg memasuki jalur Busway. Ada benarnya juga sopir saya ini, ketika kendaraan kami terjebak macet, jalur busway justru sepi. Selang waktu antara satu Busway dengan yang berikutnya cukup lama, padahal isi Busway-nya penuh sesak. Jadi ingat moment2 menunggu Busway di haltenya saat peak2nya. Sudah antriannya panjang, Buswaynya jarang muncul lagi.

Kemudian teringat saran Pak JK pada salah satu tulisannya tentang transportasi di Jakarta. Menurut beliau seharusnya Busway bisa mengangkut lebih banyak lagi penumpang, karena telah mengambil sebagian bahu jalan. Kapasitas jalur Busway yang ada belum dimaksimalkan. Tapi klo armadanya terbatas gini, gimana mo ngangkut dalam jumlah banyak. Gimana masyarakat Jakarta mo beralih dari kendaraan pribadi ke Busway (transportasi massal) kalau kenyamanan dan ketepatan waktu tidak terpenuhi. Selain soal biaya yang murah, transportasi massal harus bisa memberikan kenyamanan dan ketepatan waktu.

Sepertinya sie sudah sejak lama disadari klo armada Busway-nya masih kurang. Tapi kayaknya susah banget mo nambah jumlah armada. Apanya yg susah sie utk nambah armada? Tinggal beli, …gitu aja kok repot. Mungkin memang belum saya sadari/ketahui klo ada kerumitan dan kesulitan dalam pengadaan armada baru Busway. Tapi utk orang sekelas Gubernur DKI dengan kewenangan yang dimilikinya, gak masuk akal (atau belum masuk logika) saya klo gak bisa menambah armada Busway dengan cepat. Maafkan saya yang naif ini Pak.

Next stop, Harmoni
Check your belonging and step carefully !


Musik dan Olah Raga

Peringatan awal bagi siapa saja yang ingin membaca tuntas tulisan ini adalah bahwa tulisan ini sangat acak-acakan. Alurnya naik-turun loncat sana-sini, kadang nyeleneh kadang serius, kadang lebay kadang sangat lebay, kadang kanan kadang kiri, awal jadi akhir, akhir bisa di awal, suka atau duka tidak jelas maunya, terang-gelap, siang-malam, surga-neraka seperti dua sisi uang logam yang hanya bisa diliat satu-satu, tidak bisa bersamaan. Haiyahh...opo hubungane coba?

Dipaksakan? Iya begitulah kira-kira...karena yang nulis sdh lama tdk curhat lewat tulisan dan saat ini sok-sokan merasa seperti dikejar deadline padahal esok hari masih panjang. Jangan percaya 100% pada tulisan ini karena sumber referensinya hanya memori2 serta kenangan pahit dan indah masa lalu penulisnya saja, klopun ada sumber lain itu berasal dari cerita kawan2nya yang masih sempat diingatnya.Tapi ingat kawan2...kebenaran biasanya berawal dari kemustahilan. Sumber referensi yang paling agak ilmiah diperoleh dari mesin pencari "search engine" yang tersedia gratis di dunia maya.

Lalu kapan/dimana sebenarnya tulisan ini benar2 dimulai? Sabar dululah...pikir2 saja dulu untuk melanjutkan membacanya, bisa jadi hanya buang2 waktu saja. Tapi bukankah sekarang (bulan Ramadhan) lagi ngetrend istilah 'ngabuburit' yang artinya kurang lebih menghabiskan (buang-buang) waktu sampai tiba waktu buka puasa. Kalau kebanyakan orang ngabuburit dengan jalan-jalan, kelebihan membaca adalah diam di tempat saja.

Tulisan ini dibuat bukan dalam rangka 'ngabuburit' tapi 'ngabuhalu'. Ngabuhalu adalah istilah yang baru saja ditemukan untuk menunggu saat sahur. Kok bisa? Pakailah ilmu kapal. Jangan pakai ilmu padi, karena padi dan kapal sangatlah beda. Padi di darat, kapal di laut.

Pemirsa..pe..pe..pe..pemirsa!! Eaa..eaa..eaa..eaa..eaa *tukularwana mode on.

Pada salah satu stasiun tv swasta (sebut saja SCTV), beberapa waktu lalu saya menyaksikan episode terakhir acara musik 'Harmoni'. Spektakuler, fantastik, bombastik, gileee. Saya termasuk salah satu penyuka acara musik ini yg disiarkan setiap bulannya. Intinya, musisi Indonesia hebat2, kualitas musik Indonesia pantas dibanggakan. Bukan saja di 'Harmoni', tapi pada beberapa acara musik lainnya terlihat bahwa kualitas musik Indonesia relatif sangat baik dibandingkan dengan kualitas lapangan profesi2 lainnya di Indonesia. Sampai-sampai seorang RI-1 pun tergoda untuk berkarya di dunia musik walaupun menurut saya kualitas karyanya sampai saat ini sangat biasa2 saja. Maaf ya Pak, saya hanya berusaha jujur.

Menurut saya dari sedikit yg bisa dibanggakan untuk saat ini salah satunya adalah kualitas musik dari anak negeri. Kata teman yg pernah cukup lama tinggal di Malaysia, dari sepuluh tangga lagu ter-hits di Malaysia, biasanya tujuh diantaranya adalah lagu2 karya musisi Indonesia. Betul...betul..betulll ? Fabulous...fabulous !!! Pokoknya percaya saja deh...musik Indonesia itu relatif lebih baik dari negara2 tetangganya.

Jika dibandingkan dengan prestasi olah raga negeri ini, prestasi musiknya pun juga masih lebih baik. Kenapa? Padahal tidak ada menteri musik sementara menteri olah raga ada.  Dalam dunia musik ditanah air, pemain utama yang dominan hanya ada dua yaitu pemusik dan penikmat musik yaitu masyarakat umum. Dalam dunia olahraga, tambah satu pemain lagi yang cukup berperan yaitu pemerintah sebagai orang ketiga. Dalam kosa kata ilmu berpacaran atau berumah tangga, orang ketiga ini sering dimaknai negatif. Tentu tidak demikian dalam dunia olah raga, orang ketiga (pemerintah) diharapkan berperan positif dalam meningkatkan prestasi olah raga tanah air. Tetapi sepertinya kenyataan berbeda dengan harapan, seiring semakin meningkatnya peran orang ketiga yang terindikasi dari semakin meningkatnya anggaran negara untuk olah raga tiap tahunnya, prestasi atlet2 Indonesia semakin terpuruk.

Coba sebutkan daerah mana saja di negeri ini yang pengurus KONI atau cabang2 olahraga di daerah yang tidak dijabat rangkap oleh pejabat publik daerahnya? Ada beberapa yg dijabat oleh kepala daerah, sebagian oleh kepala dinas, rektor PTN, dan pejabat publik lainnya. Bukan apa2...ngurusi kerjaan utamanya aja dah repot, eh ditambah lagi kerjaan tambahan ngurusi atlet. Alhasil ngurusin olah raga jadi kerja sampingan. Emang sih ada istilah jabatan ketua pelaksana harian yang bisa lebih fokus, tapi ya gitu deh.

Everything happen for a reason (kembali ke lap...top).

Sebagai mantan atlet sepak bola yang disegani di kampung, saya merasa ikut bertanggungjawab memajukan sepak bola tanah air. So sweet...

Ketika World Cup 2010 telah berakhir, nilai gaji dan kontrak beberapa pemain internasional tersebut mengalami peningkatan. Nilai gaji pemain-pemain tersebut sangatlah besar jika dibandingkan dengan beberapa profesi lainnya. Seorang pemain sepakbola terbaik di dunia akan sangat berbeda jauh penghasilannya dengan seorang tukang masak (koki) terbaik di dunia sekalipun apalagi dengan tukang batu terbaik di dunia. Yaelah...jelaslah itu, tapi apa yang membedakannya? Sama-sama terbaik di dunia dalam profesinya masing-masing tetapi penghasilannya jauh berbeda.

Keahlian seorang pemain kelas dunia seperti Forlan, Messi, Ronaldo, dll ditonton dan dinikmati oleh ratusan juta orang di dunia. Sementara keahlian dari seorang tukang masak dan tukang batu terbaik di dunia hanya dinikmati oleh orang-orang yang mempekerjakannya saja. Itulah yang membedakan jumlah penghasilan yang diterima oleh profesi-profesi tersebut. Messi dkk menerima imbalan yang sangat besar karena telah menghibur orang dalam jumlah yang sangat besar, sementara si tukang batu terbaik yang menikmati karyanya hanya beberapa orang saja. Secara tidak langsung, saya dan kebanyakan penikmat tontonan sepak bola di Indonesia turut menentukan besarnya jumlah penghasilan yang diterima si Messi dkk.

Agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dunia, hiburan yang disajikan oleh Messi dkk itu dikemas oleh suatu media informasi seperti televisi menjadi sebuah tontonan. Tidak saja pada saat mereka beraksi di lapangan, tetapi juga sepak terjang dan segala aktivitasnya di luar lapangan. Bukan hanya televisi, tetapi media informasi lainnya seperti koran, majalah, intenet dll, turut andil menyampaikan hiburan dan berita seputar olah raga tersebut.

Lalu apa hubungannya dengan upaya memajukan sepak bola tanah air? Sedikit cerita di atas ingin memberi penegasan bahwa media informasi dan hiburan terutama televisi memiliki peran yang strategis dalam meningkatkan kualitas olah raga khususnya sepak bola di tanah air.

Di banyak negara yang sepakbolanya sudah maju, pemain sepakbolanya laksana selebritis (artis). Segala aktivitasnya baik di lapangan dan di luar lapangan selalu menjadi perhatian media layaknya artis-artis terkenalnya. Itulah sebabnya antara penghasilan artis dan atlet di luar negeri tidaklah berbeda jauh.

Di tanah air kita, belumlah demikian. Tayangan seputar olah raga beserta atletnya belumlah sebanyak tayangan seputar musik dan sinetron. Itulah mengapa industri musik kita lebih cukup maju dan berkualitas dibanding industri olah raga. Pekerja musik Indonesia mampu bersaing dengan pekerja musik negara maju (ehh bener gak sie? Setau gue gitu sie). Event-event musik berkelas internasional seperti Java Jazz Festival mampu diselenggarakan oleh anak negeri. Tidak sedikit pula musisi kita yang memperoleh penghargaan internasional.

Memang dalam dunia informasi, apa yang menonjol dan menarik itulah yang banyak ditayangkan. Seperti dunia musik dan hiburan tanah air yang lebih banyak berprestasi, maka porsinya pun lebih banyak ditayangkan. Namun sebaliknya, prestasi juga bisa ditingkatkan melalui peran media informasi.

Kayaknya dah makin kacau neh tulisan...stop dulu aja. Sudah.
Sahuuuurrrr...sahuuuuurrr....!!!

AADC part. 2 (Segera Tayang)

AADC part. 2 (Segera tayang)

Ada Apa Dengan Century:
Kemarin pagi (1 Maret) gw lagi kumpul2 sama teman2. Seorang diantaranya ngomong gini “Berapa sie nilai 6,7 Trilyun, sampe harus ribut2 gak selesai2 gini”. Maklum situasi menjelang rapat paripurna DPR terkait kasus Century sekarang lagi panas2nya bagi sebagian orang. Tapi bukan itu yg buat gw panas kemarin. Gw jadi panas hati setelah ngecek ke atm ternyata gaji gw belum masuk. Tambah panas lagi begitu mau pulang ternyata kereta pada macet. Sampai di rumah gw terngiang2 kata2 temen gw itu, sampe gak bisa tidur mikirin 6,7 trilyun. Lebay deh…
Gw mo ngasih tau sesuatu ke lo….

1. “Lo tau gak, berapa panjang selembar uang Rp. 100.000,- ?”
Panjangnya 15,5 cm. Jika 6,7 Trilyun dana talangan Bank Century terdiri atas pecahan Rp. 100.000,- maka akan ada sebanyak 67 juta lembar. Nah jika lembaran-lembaran uang tersebut disambung tanpa putus-putus maka akan ada untaian uang Rp. 100.000,- sepanjang 10.385 Km. Kalau jarak antara kota Makassar dan Manado ±2000 Km, maka panjang untaian uang tersebut adalah 5 kali jarak Makassar-Manado. Dengan menggunakan sarana transportasi darat, waktu tempuh Makassar-Manado biasanya 2 hari 2 malam, sehingga si Aco harus naik bis selama 10 hari 10 malam bolak balik Makassar-Manado mengumpulkan pecahan uang Rp. 100 rb yang sebanyak 6,7 Trilyun itu dan kemudian akhirnya tiba di Manado dan ketemu dengan kekasihnya Grace. Itupun klo si Aco naik bis, klo jalan kaki butuh waktu berapa lama? Padahal selangkah saja kaki Aco bernilai sekitar Rp. 300rb. Bayangkan dengan buruh bangunan yang seharian bekerja keras hanya diupah Rp. 50rb.

2. “Lo tau gak, berapa nilai produksi seluruh masyarakat Pulau Sulawesi selama setahun?”
Nilai PDRB (Product Domestic Regional Bruto) dari seluruh 6 provinsi yang ada di pulau Sulawesi adalah Rp. 176,9 Trilyun (BPS, ADHB 2008). Nilai ini adalah nilai ekonomi dari seluruh aktivitas produksi yang dilakukan oleh seluruh penduduk Sulawesi. Jika 6,7 dana talangan Century dikonversikan ke jumlah waktu yang diperlukan bagi orang2 Sulawesi berproduksi, maka nilai itu setara ± 14 hari. Suatu nilai yang bisa menghentikan seluruh aktivitas ekonomi (produksi) semua penduduk Sulawesi selama 14 hari. Daeng Sija gak perlu jual Coto Makassar, Ungke tidak melaut dan cari nener, perusahaan kelapa sawitnya Laode libur berproduksi, papanya Hendrik tidak ngantor, Uti tidak jemur jagung, Martina off dulu ke sawah, Ojo tidak panjat2 kelapa. Nilai 6,7 Trlyun setara 14 hari masyarakat seluruh Sulawesi kerja cari duit. Bagaimana jika dibandingkan dengan PDRB Gorontalo? Hahay…seluruh masy Gorontalo hanya bisa ngumpulin duit 5,9 Trilyun selama setahun (2008)….selama setahun…

3. “Lo tau gak, berapa nilai konsumsi makanan rata2 masyarakat Pulau Sulawesi selama sebulan?”
Nilai konsumsi makanan rata2 masyarakat Sulawesi per kepala Rp. 184.661,- per bulan (2009). Jika jumlah penduduk Sulawesi sebnayak 16.530.847 jiwa (2008), jumlah total nilai konsumsi seluruh penduduk Sulawesi sebesar Rp. 3.052.601.040.443,- per bulan, sehingga jika 6,7 Trliyun digunakan untuk memberikan makan seluruh penduduk Sulawesi, maka jumlah itu bisa memberikan mereka makan gratis selama lebih dari 2 bulan.

4. “Lo tau gak, berapa lama lagi gue hidup?”
Kalau memperhatikan angka harapan hidup penduduk Indonesia (eo 2005-2010), gue masih bakal hidup selama 40 tahun lebih. Jika saat ini gw pegang duit 6,7 Trilyun, ckckcck….setiap hari gw bisa belanja ± Rp. 458.904.000,- sampe gw meninggal.

5. “Lo tau gak, berapa harga kopi sekilo?”
Gw telpon emak tapi dia juga gak tau harganya….jangan2 6,7 Trilyun bisa buat nutupin pulau sulawesi dengan bubuk kopi.

Hari ini banyak yang turun ke jalan terkait kasus Century. Adapula keributan di kantor DPR saat rapat paripurna. Ada yg pro bailout ada yg kontra. Gw dipihak yang mana? Klo gw, serahkan saja sama KPK yang ngusut, sebab kemarin gw nonton ada seorang anggota DPR ngomong gini “Lobi-lobi itu sudah biasa dan lazim dilakukan di DPR”. SET..dah, kesimpulan kan berdasarkan data dan fakta temuan, tapi kok bisa lobi-lobi. Setdah...setdah...setdah…

Jadi ingat dulu juga ada Pansus (Topan dan Leysus). Pansus yang dulu itu sering juga muncul di tv sebagai acara komedi, bikin ngakak abis. Kemana ya mereka berdua sekarang?

Orang Tua (yang) Durhaka Kepada Anak

Gambar didownload dari : http://i31.photobucket.com/albums/c363/goliwet/pengemis_bogor.jpg , tanggal14/02/2010, jam 15.12

Hanya ingin sharing cerita aja…
Mungkin diantara saudara/i sudah ada yang mengetahuinya….saya belum lama ini saja.

Karena ada sesuatu urusan di Salemba, pagi itu saya naik kereta (KRL) ekonomi menuju stasiun Cikini. Seperti biasa, kereta dari arah selatan pada pagi hari selalu penuh sesak dengan manusia. Tiba di Cikini perjalanan saya lanjutkan dengan jalan kaki menuju Salemba, melewati pasar Cikini dgn lorong2nya yg sempit, yang klo saling berpapasan kadang kita harus berjalan miring. Setelah berhasil melewati pasar, sebelum menyebrangi jembatan kayu sungai Ciliwung, karena kehausan saya berhenti di sebuah kios utk membeli sebotol air kemasan. Saat itulah saya melihat di samping saya seorang Ibu dengan anaknya yang masih balita.

Si anak yang masih balita itu terus menangis sejadi-jadinya sementara si Ibu sibuk menyiapkan minuman yang ternyata hanya air putih, maaf… bening maksud saya. Saya liat si Ibu menghancurkan sejenis tablet dan dimasukkan ke dalam minuman si bayi. Ohhh rupanya si balita lagi sakit pikirku.

Setelah urusan saya di Salemba selesai, saya balik lagi ke Stasiun Cikini dengan rute jalan kaki yang sama. Di kereta ekonomi menuju Depok, kembali saya bertemu dengan si Ibu dengan bayinya. Kali ini si Ibu menggendong bayinya yang sedang tertidur pulas dalam balutan sarung gendongan sang Ibu, sangat pulas. Sementara di sisi lain tubuh si Ibu, digendongnya pula seperangkat sound system yang tidak berhenti2 melantunkan lagu2 sedih. Tangan kanan si Ibu memegang bungkusan berkantong sementara tangan kirinya memegang mic rophone. Sambil bernyanyi, si Ibu berjalan di dalam lorong kereta menghampiri setiap penumpang sambil menyodorkan kantong bekas bungkusan permen. Ada beberapa yang memasukkan sejumlah uang ke kantong tsb, tapi lebih banyak yg tidak, saya sendiri tidak.

Si Bayi yang sekitar dua jam yang lalu menangis dengan sangat kerasnya, saat itu dalam gendongan si Ibu tertidur dengan pulas. Padahal di sampingnya meraung-raung sound system diiringi suara ibunya yang jauh dari merdu. Belum lagi hiruk pikuk pedagang asongan keliling yang menawarkan dagangannya dengan setengah berteriak. Si bayi cuek aja, tertidur pulazzz….

Kejadian ini telah memberi jawaban atas pertanyaan saya selama ini. Mengapa anak-anak balita yang sering saya lihat ikut mengemis dan mengamen bersama ibunya selalu tertidur pulas, seolah-olah mengerti dan tidak rewel saat ibunya sedang berusaha mencari uang.

Yang ada di jembatan2 penyeberangan seolah tidak terganggu dengan lalu lalangnya manusia, yang di pinggir jalan tidak terganggu dengan lalu lalang kendaraan dan terik panas matahari dan hujan, yang di dalam kereta ekonomi, di pasar2, dsb…dsb.

Terbayang tidak, bagaimana jadinya sistem saraf si anak kelak jika setiap hari diberi obat tidur. Jakarta ohh…Jakarta…siapa suruh datang Jakarta!!!

Menggugat Nasionalisme

gambar diperoleh dari www.charlietumini.blogspot.com
Mengibarkan bendera ‘Merah Putih’ di depan rumah tinggal kita merupakan suatu bagian dari bentuk suka cita warga negara Indonesia merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI. Namun di sekitar tempat tinggal saya, lebih banyak yang tidak mengibarkannya saat momen peringatan tersebut. Sudah lunturkah rasa nasionalisme dari sebagian warga negara ini? Ataukah hanya ‘sekedar’ maaf ‘lupa’…suatu ‘penyakit’ yang di negara ini masih sangat ditolerir. Atau jangan-jangan terpinggirkan oleh urusan puasa, mudik, dan persiapan menjelang lebaran?

Coba buka akun FB, Twitter, atau media-media jejaring sosial lainnya yang kita miliki lalu hitung dan bandingkan jumlah postingan dari teman-teman kita tentang Dirgahayu RI dengan postingan tentang Selamat Idul Fitri, mana yang lebih banyak? Bukan bermaksud membenturkan antara Nasionalisme dengan Agama, toh momen keduanya juga beda hari.

Kawan saya yang baru saja saya nobatkan sendiri sebagai The Welfare Man, mengatakan bahwa nasionalisme kita jadi luntur sebagian besar karena pemerintah sudah salah urus. Rakyat hanya bangga akan negaranya yang bisa menjamin kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan, sementara pengelola negara ini yaitu pemerintahnya belum bisa menjamin itu semua. Jumlah penduduk miskin masih banyak, tingkat pengangguran masih tinggi, teror terjadi dimana-mana, bentrokan antar warga sering terjadi, belum lagi tingkat kriminalitas dan korupsi yang tinggi.

Kawan saya itu kemudian bertanya pada saya “ Kamu kan tau klo indikator kesejahteraan masyarakat Amerika itu jauh lebih baik daripada negara kita?”.

Saya jawab “iya, saya tau itu”.

“Kamu mau gak kalau negara ini bubar saja dan bergabung dengan Amerika, sehingga kita nantinya jadi warga negara Amerika, yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan warga Amerika sebelumnya, sehingga nantinya suatu saat kesejahteraan kita juga akan sama dengan mereka?”

“ Mau sie, tapi apa nantinya akan berjalan mulus seperti itu? Apa tidak ada diskriminasi? Justru nantinya kita diangap seperti daerah jajahan dan dieksploitasi habis2an untuk kepentingan mereka?”

“ Heh, Amerika itu negara demokratis, gak mungkinlah seperti itu, mereka itu menghargai perbedaan. Di sana itu tempat berkumpulnya berbagai ras dan keyakinan dan mereka setara. Justru yang jadi pertanyaan,mau gak mereka terima kita?”

“Emangnya pemerintah kita mau legowo bergabung dengan mereka dan kehilangan kekuasaannya?”

“ Ssst..itulah. Pasti tidak mau” Tapi kalau kita semua rakyat setuju pasti akan bisa terwujud. Pernah dengar 'Dreamland'? Itulah Amerika”

“ Kenapa tidak kamu saja yang ke sana, jadi warga negara sana?”

“ Saya bukan tipe yang egois, saya mau mengajak semua bangsa ini jadi sejahtera”

“ Emangnya pemerintah kita gak sanggup bikin rakyatnya sejahtera?”

“ Kau tidak lihat buktinya? Potensi kekayaan negara kita ini sangat besar, tapi kita gak maju2 juga, banyak yg salah urus, banyak yang diselewengkan”

Dia lalu mengungkapkan kecurigannya pada elite penguasa yang selalu mengobarkan semangat nasionalisme. Menurutnya elite jaman ‘pasca kemerdekaan’ yang mengobarkan semangat nasionalisme hanya ingin melanggengkan kekuasaannya, menutupi kesalahan dan kecurangannya dengan menciptakan musuh dari luar. Para elite itu tidak mau lahan garapannya diganggu pihak luar. Akhirnya nasionalisme jadi benteng melanggengkan kesewenangan.

“ Nasionalisme jaman dulu dah bergeser motifnya sekarang. Kalau dulu wajar kita berjuang karena yang dari luar itu menindas kita. Sekarang musuh kita ada di dalam negara ini sendiri, jumlahnya banyak lagi, dan kuasanya besar lagi karena posisinya ada di tempat2 strategis. Hanya ada satu institusi yang saya percaya di negeri ini, KPK.”

“ Lalu bagaimana caramu mewujudkan bangsa ini bisa setara dengan Amerika?” tanyaku. “ Itulah…saya juga bingung karena saya hanya seorang penjual pulsa”.

Para elita sibuk mengobarkan semangat dan doktrin nasionalisme, sementara masih banyak rakyat yang berpikir keras bagaimana caranya besok bisa perolah makanan.

Dirgahayu Negeriku…jayalah melebihi Amerika.