Monday, November 30, 2009

Curug Malela bukan tempat untuk wisata




Cerita ini gak ada hubungannya dengan ramalan bencana di 2012. Tetapi bagi anda yg percaya akan 2012, monggo…sangat disayangkan klo anda melewatkan mengunjungi tempat ini sebelum semuanya terlambat. (menakut-nakuti “mode on”)



Kejadiannya sudah beberapa waktu yg lalu (± 2 bulan yl). Setelah kumpul jam 19.00, Jam 23.00 kami baru meninggalkan Jakarta. Kami ber-enam dengan formasi 3-2-1 (3 laki2, 2 perempuan, 1 alay). Diawali dengan masuk tol arah Bandung, beberapa kali kami harus berhenti utk istirahat di hampir setiap rest area sepanjang tol. Setelah puas di jalan tol, kami keluar di pintu tol Cimareme (klo gak salah sebut) dan mengarahkan kendaraan menuju Cililin. Dari Kec. Cililin, rute selanjutnya menuju Kec. Sindang Kerta, lalu Kec. Gunung Halu dan kecamatan terakhir adalah Kec. Rongga. Beberapa kali kami berhenti utk menanyakan arah kepada orang2 disepanjang jalan yg kami lewati, dan beberapa kali pula diantara kami memanfaatkannya utk Shalat Subuh, ngudut, ngopi, Pup, dan kentut. Matahari mulai muncul ketika kami dalam perjalanan dari Gunung Halu menuju Rongga dan kami menyempatkan diri utk mengambil beberapa gambar. Kami adalah Geng Cendol.



Di Kec. Rongga, jalanan mulai agak rusak, kami sempat salah arah, sebelum seorang ojek membenarkannya dan kami ‘kembali ke jalan yg benar’. Hampir tidak ada petunjuk jalan yg terpasang di sepanjang jalan yg menunjukkan arah lokasi yg kami tuju (curug Malela). Rongga adalah kec. yang terdekat dengan lokasi yg kami tuju tetapi boleh percaya boleh tidak, ternyata banyak penduduk yg tidak tahu dimana lokasi curug Malela. Dari Rongga kami menuju Desa Cicadas, melewati bukit2 perkebunan teh yg pemandangannya menyegarkan mata, di tepi jalan yg kami lewati, berjejer menjulang tinggi pohon2 yg entah apa namanya.

Semakin jauh perjalanan semakin sulit. Bukan rusak, tapi parah. Licin, mendaki, dan ada beberapa ruas jalan yg hanya muat satu mobil, disebelahnya jurang dgn sabar menanti. Beruntung sopir ama navigatornya sdh banyak makan asam di gunung dan garam di laut, walaupun begitu mobil kami kadang kandas juga. Mobil jenis sedan dilarang keras melewati tempat ini. Ada sekitar 3 km jalanan yg sangat rusak parah, waktu tempuh ±30 mnt.

Kami tiba di Kampung Manglid, Desa Cicadas sekitar jam 9.30 pagi, inilah kampung terakhir yg bisa dilalui mobil. Kami harus menunggu pasar bubar untuk memarkir mobil di halaman samping sebuah SD, karena jalanan tertutup aktivitas pasar. Setelah pasar bubar dan memarkir mobil, kami siap2 menuju lokasi curug dengan menggunakan ojek. Setelah tawar menawar, disepakati harga ojek antar jemput Rp. 30rb utk jarak tempuh ± 3 km. Mahal??? Ternyata tidak setelah melihat medannya.

Breng..breng..breng….6 (enam) ojek telah siap, masing2 kami naik di setiap motor sambil membawa tas dan perlengkapan camping lainnya. Hampir semuanya RX King. Gas ditarik…dan dimulailah petualangan kami. Jalanan sangat licin, menanjak dan menurun, ada yg berupa jalan setapak dan hanya muat untuk satu motor, di samping jurang tersenyum, walaupun gak begitu dalam. Saat mendaki ada yg harus turun dari motor, tp ada juga yg tetep nekat sambil boncengan. Silahkan membayangkan sendiri….

Ternyata ojek gak sampai di lokasi curug Malela. Tapi dari lokasi ojek terakhir kami sudah dapat melihat dan mendengar gemuruh suara air terjun Malela. Sebelum turun berjalan menuju lokasi curug, si tukang ojek berpesan “Hati2 ya di bawah!” ,karena merasa aneh dgn pesannya, saya bertanya “Emang ada apa di bawah Pak?” jawabnya “Gak ada, ya hati2 aja” sambil berlalu pergi dgn senyuman penuh misteri. Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki sejauh ± 1 km, melewati pematang sawah serta jalan setapak yg naik turun dan licin. Gubrak…gubrak…beberapa diantara kami ada yg terpeleset jatuh, gak perlu saya sebutin namanya…pun inisialnya.



Tiba di lokasi, tidak ada orang lain selain kami. Kami naik ke semacam sebuah batu besar di depan curug, disitu lokasi agak datar dan cukup muat utk mendirikan sebuah tenda. Lelah kami terhapus dengan pemandangan air terjun di depan mata, dia menyapa lembut dengan butiran2 air menghempas di wajah kami. Setelah motrek2…tendapun berdiri. Setelah itu seperti biasanya, tanpa komando seluruh cendol berpencar mengambil posisi masing utk motret2.



Di Malela terdapat 7 buah air terjun (curug) yg berada dalam satu aliran sungai, yang kami kunjungi ini adalah yg terbesar dan yg paling tinggi posisinya menurut penduduk sekitar. Di sekitar tempat jatuhnya air, banyak terdapat ranting2 pohon dan sampah yg kebanyakan berupa sendal dan sampah plastik lainnya. Dugaanku…sampah2 ini berasal dari hulu sungai yg hanyut terbawa air. Kenikmatan jadi berkurang karena sampah2 ini. Air sungai jauh dari kesan jernih.

Menjelang maghrib, hujan turun, beruntung tenda yg kami bawa muat utk kami ber-enam beserta seluruh perlengkapan yg kami bawa. Acara masak dimulai segera setelah hujan reda. Setelah candle light dinner ala cendol semua pasang posisi tidur. Ada misteri malam itu, tp sudahlah….



Paginya kami mencar, mengeksplor daerah sekitar curug. Aku sendiri berusaha mencari curug yg kedua dan ketiga di aliran sungai yg sama. Saat akan turun ke bawah, curug kedua bisa kelihatan dari samping, tapi tertutup semak2 yg rimbun. Sampai di bawah ternyata arusnya membelok dan curugnya tertutup oleh tebing. Curug ketiga hanya kelihatan dari atas aliran sungai yg terputus jatuh ke bawah. Saat menuju curug ketiga, ketemu beberapa anak sungai yg memiliki curug kecil, lumayaaaan buat di foto. Sebenarnya banyak tempat2 yg asik di sekitar sini, tapi waktunya mepet, jam 9 pagi kami harus berkemas. Belum puas sie maen2 di sini, pengen lagi ke sini, ada yg mau ikut?????





Setelah bersih2 lokasi camping dan membakar sampah yg bisa dibakar, kami pun balik menuju ‘meeting point’ dgn mang ojek. Perjalanan pulang terasa lebih berat karena menanjak dan licin.



Naik ojek kali ini lebih menantang, selain karena jalannya lebih menanjak, juga karena ojek yg datang kurang satu. Jadilah satu motor diisi empat manusia, anak si tukang ojek paling depan, kemudian tukang ojeknya dan dua dari kami di belakangnya.
Banyak obyek menarik yg kami temui sepanjang perjalanan pulang, tapi yg paling menarik adalah ketemu penjual cendol. Jadilah cendol makan cendol.



Kami tiba kembali di Jakarta jam 19.00

Monday, September 14, 2009

Ngutang aja deh...klo gak mampu


Seperti biasanya, malam ini hanya ditemani laptop, modemku yg lelet, rokok dan kopi. Supaya agak sedikit rame dan hidup suasananya…laptopku kusuruh bernyanyi…maka melantunlah….”Bring it on home to me”.
If you ever change your mind….About leaving …leaving me behind….
Oh..oh..bring it to me…bring your sweet lovin…bring it on home to me…oh yeah..oh yeah..oh yeah

Di sini Medan Bung !!!, ini kota besar ….dan di sini listriknya juga byar…pet. Teringat lagi dengan kota kecilku…Palu, di sana lebih parah lagi. Tidak besar maupun kecil, sama saja, byar…pet. Beberapa komentar teman2 di situs jejaring sosial pun biasanya mengeluhkan kondisi ini. Semua orang mengeluh, rakyat mengeluh, pemerintah pun mengeluh, saling tuding dan saling menyalahkan. Biasanya yang jadi sasaran caci maki adalah PLN, kadang2 pula masyarakat mencaci Pemda-nya, bahkan antara Pemda dan PLN pun sering terlihat saling tuding di media2 massa.

Lantas siapa sebenarnya yg harus bertanggung jawab?

Hari ini tanggal 14 September 2009, enam hari menjelang hari raya (Idul Fitri), toko2-mall2-dan pusat2 perbelanjaan lainnya sudah mulai ramai dikunjungi masyarakat. Pakaian dan makanan adalah barang yg paling banyak diburu untuk dibeli, ada juga yg memburu pernak-pernik yg dibutuhkan untuk mempercantik ruang tamu, termasuk perabotannya. Padahal, sebenarnya tanpa mengkonsumsi barang2 itupun kita juga masih bisa merayakan Idul Fitri tanpa mengurangi sedikitpun kualitas perayaannya secara hakiki. Artinya, masyarakat memegang duit yang banyak. Uang yang dibelanjakan oleh masyarakat pada saat2 ini lumayan besar, buktinya hampir setiap menjelang perayaan hari2 besar agama, dapat dipastikan inflasi meningkat.

Sementara itu, pemerintah daerah, terutama di daerah2 yang pendapatan pemerintahnya minim, selalu merasa kebingungan untuk membangun infrastruktur bagi rakyatnya. Biasanya alasannya klasik, “pembangunan yg kita laksanakan haruslah bertahap karena sumber dana untuk pembiayaannya terbatas”. Masalah dana rupanya. Uang itu gak hanya datang dari PAD, gak hanya datang dari sumber2 alam yg kita eksploitasi habis2an yg akhirnya merusak kualitas lingkungan, bukan hanya dari pajak/retribusi, DAU, DAK, dan lain2 yg sudah lumrah2 itu. Uang bisa datang dari kreativitas berpikir. Uang sebenarnya banyak tersedia dan beredar di masyarakat luas. Bukan dari masyarakat miskin lho…tapi dari masyarakat menengah ke atas (the have) yang biasanya di simpan di bank2 yang penakut (takut memberikan kredit terutama ke proyek2 sektor publik yg dikerjakan oleh pemerintah daerah). Daripada disimpan dan didiamkan di Bank2 penakut seperti itu, kan lebih baik digunakan untuk membangun infrastruktur di daerah. Ya…pemerintah daerah harus berani berhutang kepada masyarakat luas. Caranya dengan menerbitkan semacam Surat Utang atau mungkin klo tidak salah nama kerennya Obligasi. Pemerintah Amerika saja membiayai pembangunannya dari hutang kepada rakyatnya kok, sumpeh…asli gak boong.

Jangan malu dan trauma dengan berhutang lah. Asalkan niat dan tujuannya baik, untuk kesejahteraan bersama. Klo niatnya sudah baik, selalu ada motivasi untuk mengelola dan memperkuat institusinya. Hutang adalah masalah kepercayaan, so tunjukkan attitude dan niat baik, tunjukkan institusi yg baik, dan jangan lupa tunjukkan bunga yang merangsang tapi wajar.

Undang2 tentang pengelolaan keuangan negara di era otonomi daerah saat ini memperbolehkan kok bagi pemda2 utk ngutang dengan menerbitkan obligasi. Bahkan investor asing pun boleh membeli obligasi yg diterbitkan pemda. Tentu saja dalam penerbitan obligasi ini, syarat dan ketentuan tetap berlaku, hehe. Makanya pelajari baik2 dulu deh peraturannya.

Menurut saya ada beberapa alasan mengapa harus ngutang. Mengapa ngutang?

Pertama, untuk mencegah pajak yg terlalu tinggi dan pajak yg mengada-ada. Jika tidak ada sumber pendanaan alternatif lainnya selain pajak dan retribusi atau hal2 yg lumrah2 itu, pemerintah daerah harus menggenjot pendapatannya melalui pajak dan retribusi ini. Maka dibuat-buatlah macam2 pajak, setiap aktivitas masyarakat untuk berproduksi bahkan konsumsi dikenakan pajak. Mau buka usaha warung kena pajak tinggi, mau nikah kena pajak, merokok kena pajak, ngopi kena pajak, dengerin musik kena pajak, pokoke iso2ne lah sing penting target pendapatan daerah terpenuhi. Maaf lebay….tapi maaf juga pajak yg tinggi dan bermacam2 itu sangat mengganggu insentif bagi masyarakat untuk berproduksi. Ini tidak efisien bagi perekonomian. Boleh sie, tapi jangan terlalu tinggi dan mengada-ada. Coba deh perhatikan jenis2 pajak dan retribusi di tiap2 pemda, pasti ketemu yang aneh2.

Kedua, mencegah eksploitasi lingkungan secara berlebihan. Kasian kan klo hutan, sungai, laut kita harus di eksploitasi habis2an untuk mengejar target penerimaan daerah. Ketahuilah bahwa alam ini bukan warisan dari leluhur kita, tetapi titipan dari anak cucu kita. Alam Indonesia yang indah bisa dimanfaatkan untuk jasa pariwisata yang berbudi (maksudnya pariwisata yg tdk merusak) yg justru klo dieksploitasi habis2an malah merugikan bangsa kita sendiri.

Ketiga, dengan berhutang berarti kita memindahkan sebagian biaya kepada generasi selanjutnya. Ini yg biasanya disalahtafsirkan bahwa kita tidak boleh mewarisi generasi berikutnya dengan hutang. Ini adil kok, kan generasi selanjutnya juga menikmati hasil pembangunan dari ngutang. Generasi selanjutnya juga mewarisi lingkungan yang masih terjaga akibat adanya hutang. Generasi selanjutnya yg sekarang masih sekolah bisa belajar dengan tenang karena listrik gak mati.
Keempat, sudah ah…pusing nyari alasan apa lagi.

Gak masalah kok klo kita ngutang kepada masyarakat luas, selama pengelolaannya dilakukan secara baik dan profesional (Good Governance is a must). Klo memang pemerintah daerah punya modal sendiri…ya ngapain harus ngutang. Masalahnya duitnya sekarang kagak cukup……….udah gitu yg gak cukup dikorupsi lagi….

Klo harus menunggu PAD, DAU, DAK, kapan bisa bergerak maju dengan cepat brur…masyarakat sudah mencaci maki tuh. Dengan modal hutang ye bisa bangun Pembangkit listrik, Jalan, Irigasi, Sekolah2, dll.

You know I laughed when you left
But now I know I only hurt myself
Oh..oh…bing it to me….bring your sweet lovin..
Bring it on home to me….uh yeah..uh yeah…uh yeah..
Uh yeah..uh yeah…uh yeah…….
(singing mode on)

Thursday, August 27, 2009

Kepulauan Togean, Surga Yang Tersembunyi (Togean Islands, Hidden Paradise)

"Pulau Poya Lisa, Kepulauan Togean"

Kata temanku: “ kami sudah pergi ke puluhan negara dan berbagai tempat yang eksotik di seluruh dunia, tapi tempat ini yg paling indah yg pernah mereka kunjungi. “ upsss…. lebay gak sie….?

Rencana trip ke Togean sudah sejak sebulan sebelumnya kami rencanakan. Idenya bermula ketika kami saling bertemu di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Aku, Arie dan Nana sepakat untuk berangkat ke Togean memanfaatkan libur hari Proklamasi biar waktu cuti kerjanya bisa di hemat. Kami juga telah mengajak beberapa org teman untuk ikut, bahkan telah mempublish di media internet (facebook), namun finally yg berangkat hanya kami bertiga. Selain kami bertiga, ada seorang lagi yg ikut ke Togean, namanya Ruli, dia menumpang di kendaraan kami karena mendengar kabar klo Ibunya telah meninggal dunia di Togean.

13 Agustus 2009, pkl 20.00 Aku yg lebih dulu berada di kota Palu menjemput Arie dan Nana di bandara Mutiara Palu. Setelah makan malam dengan menu tradisonal khas Palu di rmh Riny (thanks ya Rin), lalu kami menjemput Ruli dan langsung berangkat ke Togean. Pkl 23.00 kami berempat telah meninggalkan kota Palu.

14 Agustus, pkl. 03.30 kami tiba di Kota Poso. Karena dah gak tahan ma rasa kantuk….mobil kuparkir depan Polres Poso dan kami istirahat selama sejam. Setelah tdr sejam, bdn rasanya lebih seger, langsung tancap gas lagi menuju kota Ampana. Selama perjalanan Poso-Ampana inilah yang paling terasa berat. Pagi hari adalah siklus waktu gencar2nya aku buang angin. Berkali-kali aku harus menghentikan mobil dan keluar dengan jarak agak jauh agar suaranya tidak kedengaran. Sampai suatu saat, ketika kami lg motret sunrise…akhirnya aku perkenalkan “bunyi” itu ke teman2ku. Responnya…, ”welcome” bukan dengan bahasa verbal.

Tiba di Ampana 09.30, disambut isak tangis keluarga yg berduka, setengah jam kemudian kami berangkat ke Togean menumpang pada speedboat yang disewa oleh rombongan keluarga duka dgn harga Rp. 1 jt sekali jalan. Kapasitas normal hanya untuk 10 org, tetapi waktu itu muatannya lebih dr normal. Selain menggunakan speedboat, Kep. Togean juga dapat ditempuh dengan kapal kecil yg oleh org sana disebut “bodi”. Klo menggunakan ‘bodi’ harga tiketnya hanya 20 rb per orang dengan waktu tempuh normal 2 jam sedangkan menggunakan speedboat normalnya 30 mnt. Dua hari sekali, rata2 dua buah bodi berangkat ke Togean dari Ampana. Di Togean, speedboat kami merapat di dermaga desa ‘Bomba’. Agak hati2 untuk berlabuh di dermaga karena ada terumbu karangnya, speedboat kami agak memutar menghindari terumbu karang sebelum benar2 merapat di dermaga.

"Dermaga di Bomba"

Pantai sekitar dermaga sangat jernih, terumbu karangnya kelihatan dengan sangat jelas dari atas dermaga. Setelah melayat, kami istirahat sejenak di rumah salah seorang penduduk desa. Baru 10 menit istrht, mata, tangan, kaki Arie dan Nana dah gatal2, maka dikumpulkanlah anak2 kecil di sekitar dermaga, disuruh bergaya ala model.

"Nana bersama ponakan2""


"Suguhan selamat datang dari putera Bomba"

Menjelang sore, setelah urusan pemakaman selesai, kami diantar ke Pulau “Poya Lisa”, tempat kami akan menginap selama berada di kep togean, jaraknya 10 menit dari Bomba.

"Pantai sekitar Poya Lisa Island"


"Sore hari di Poya"

Luas pulaunya ± 5 Ha, Tidak ada penduduk yg bermukim di Pulau ini, hanya ada 4 buah cottage yg disewakan seharga 150 rb /malam/orang sudah termasuk makan 3 kali, air panas utk ngopi selalu tersedia setiap saat di sini. Jauh dari kesan cottage mewah, hanya berupa kayu dan papan2 yg dipaku, mirip ‘pos siskamling’ jaman dulu. Menu makanannya so pasti ikan2 segar. Tarifnya bisa ditawar lho…kami kenanya 125 rb per malam. Pulau ini milik Pak Ismail (Pak Mantri Kesehatan di Bomba) yg juga mengelola cottagenya. Sarana air bersih dan MCK cukup tersedia di pulau ini, air bersih didatangkan dari Bomba. Jangan tanya ttg signal HP, gak ada. Listrik pun hanya ada mulai pukul 18.00 s.d 24.00. Tiba di Pulau kami lsg berkenalan dgn penghuni yg sblmnya telah lbh dulu ada di sana, 2 couple dr Prancis, 1 pasang dari Australia dan 1 pasangan lagi dari Belanda. Pulau Poya berpasir putih, memiliki teluk kecil, dan di sekitar pantainya banyak trdapat coral cantik yg masih hidup.

"Salah satu cottage di Poya"


"Milik Pak Ismail"

Sore harinya kami memotret sunset…viewnya cantik ciamik, lsg berhadapan dengan matahari yg seolah tenggelam di laut.

"Sunset di Poya"

Malam hari, sambil ngopi kami hanya ngobrol dan liat2 hasil jepretan di laptop Arie. Kemudian zzz..zzzhhh..zzzzhhhhh……..

15 Agustus, pagi2 bener setelah acara balas pantun tapi sebelum mandi dan gosok gigi kami motret sunrise…lumayan cantik tp view ke mataharinya tertutup pulau Bomba, jam 8.00 dengan menyewa perahu pengelola cottage seharga 400rb utk dipake sehari, kami berangkat ke kadidiri, bekal makan siang turut dibawa serta. Perjalanan ke kadidiri memakan waktu 2 jam lebih dengan perahu kecil, kami disuguhi pemandangan pulau2 yg bertebaran sepanjang rute perjalanan, lautnya jernih banget…., kami juga melewati perkampungan suku Bajo (suku yg konon dulu tinggalnya di atas perahu, tp sekarang sdh tgl di rumah2 tapi masih di atas pantai…). Ketika telah sampai di depan pulau kadidiri, kami melihat salah satu pulau yg kayaknya lumayan cantik, jaraknya ± 3 km dari kadidiri. Kadidiri kami skip dulu, lsg tancap ke pulau tersebut yg namanya Pulau Taipi. Berpasir putih dan alamaaakk…dikelilingi hamparan terumbu karang yg sangat jelas terlihat dari atas perahu. Kami sangat hati2 menuju pantainya, takut menyenggol karang2nya.

"Pulau Taipi"


"Karang laut di sekitar Pantai Taipi"

Pendaratan sukses…….luas pulau Taipi hampir sama dengan Poya Lisa. Pulau ini hanya dihuni oleh seorang Bapak2 yg sudah agak tua bersama anjing dan kucingnya. Aku liat hanya ada kopi, garam, piring ma gelas di dapurnya. Bener2 alone ranger nie brother….eh gak ding bersama kucing ma guguknya. Seperti biasanya yg sudah2, ‘Nana Tri’ bersama ‘Arie Purwandarie’ lsg moteret2 di pulau ini, fokusnya pada karang2 di tepi pantai dan awannya yg nempel di langit biru. Klo aku…mencoba mengelilingi pulau melalui pantainya, tapi gak berhasil. Ada bagian pantainya yg bertebing karang dan sulit dilewati. Makan siang kami langsungkan di pulau ini, si Bapak Tua juga kami ajak turut serta. Awalnya terasa sulit utk berkomunikasi dgn Bapak ini, beliau banyak diem dan menjawab seperlunya ketika kami tanya-tanyai, jawabannya pun kadang gak nyambung, tapi setelah makan siang…dia cerita panjang lebar ttg kondisi pulau tanpa aku tanyai lagi.

"...................."


"Hamparan karang di Taipi"

Puas motret dari pinggir pantai, ‘Arie Purwandarie’, ‘Nana Tri’ dan ‘Ardin Banget’ mengelilingi pulau dengan perahu…agak keluar pulau, coral idupnya tambah asik, tanpa pamit Nana lsg loncat nyebur berenang di sekitar coral….mirip banget ma lumba-lumba, lucu…lompatannya aja yg kurang tinggi… (Piss Na…).

"Dari atas perahu"

Ketika akan meninggalkan pulau ini,…dari atas perahu kami liat si Bapak tua berenang di pantai….eh ternyata si Anjingnya juga ikut berenang di sampingnya….ooo aku tau sekarang………

Dari Pulau Taipi, kami menuju ke Pulau Kadidiri.

"Kadidiri"


"Masih di Kadidiri"

Kadidiri sebenarnya tujuan utama kami hari ini, karena informasi mengenai keindahan Kadidiri telah kami peroleh sebelumnya lewat Internet. Tim agak kecewa di Kadidiri, biasa2 aja…hanya ada anak Hiu yg kami liat di sini, selebihnya alamnya biasa…pantai berpasir putih dan cottage2 yg lebih banyak dan mewah dibanding dgn t4 kami di Poya Lisa Island. Lebih banyak Bule di sini, pantainya juga ber koral, agak rame, tim gak suka.

"Dermaga di Kadidiri"

Karena sudah sore, kami bergegas pulang…dalam perjalanan pulang, perahu kami berjalan perlahan di sekitar pemukiman suku Bajo, biasalah take some pictures. Aku agak menghemat mengambil gbr, batt cam tinggal satu strip lagi. Perahu kami sempet kehabisan BBM, untung aja bawa cadangan minyak. Sunset menjelang ketika kami tiba kembali di Poya Lisa.

"Sunset dalam perjalanan pulang ke Poya"

Begitu mendarat…gdebag gdebug..lsg lari kocar kacir cari posisi di atas karang2 cadas bersemak di atas pulau utk motret sunset. Prat..pret..prat..pret….tim aspret (asal jepret : kata Arie lho Na…) lsg beraksi…batt cam gw abis, memori full..ohhh tamat sudah….

"Sunset tampak dari Poya Lisa Island"

Malemnya, setelah dinner, kami bereksperimen memotret bintang dari tepi pantai berpasir putih…gagal gak ada yg bagus, padahal kasat mata…bintangnya cantik2 lho. Pak Ismail, pemilik keseluruhan tanah di pulau ini datang, kami berdua ngobrol2. Dia cerita bahwa pulau ini dulunya bernama Poya (nama leluhur yg pertama kali menanam pohon kelapa di pulau ini), karena si Poya itulah yg pertama kali menanam kelapa di Pulau ini, jadilah pulau ini miliknya (enak bener ya, cm gr2 jd org yg pertama nanem phn jadilah dia pemilik pulau). Kemudian oleh anak cucunya seluruh tanah di pulau ini dijual ke Pak Ismail. Gak tau dijual brp dulunya, gak nanya. Eh…si Poya tuh ada kuburannya lho di Pulau ini, di samping kiri, agak kebelakang dikit dari t4 cottage kami nginep. Aku gak cerita sie ma Arie n’ Nana….mungkin mereka juga dah liat tuh kuburan tp gak crita2 juga kali. Kemudian pernah ada wanita Jerman yg tinggal sendiri di Pulau ini selama sebulan lebih, namanya Lisa. Ngotot sama Pak Ismail agar namanya juga diabadikan di Pulau ini, maka diberilah nama pulau ini ‘Poya Lisa’.

"Pantai di Poya Lisa island"


16 Agustus, setelah basa basi sejenak dengan bahasa2 non verbal…kami motret sunrise, kemudian dtg muklis, kenalanku dulu waktu saya pernah ke sini 4 thn lalu, penduduk asli Bomba, hmmm perahunya boleh juga tuh…lbh kecil dari yg kemarin kami pakai, tapi cukuplah untuk kami naiki berempat. Kami tawari 200rb untuk sewa perahunya sehari, dia seneng bgt. Setelah sarapan, tanpa membawa bekal makan siang, kami memulai trip hari terakhir kami.

Oh ya FYI, sebelumnya aku dah kenal beberapa penduduk asli Bomba, sktar 4 thn lalu aku pernah ke t4 ini selama 3 hari. Dulu tujuanku ke sini adalah untuk mancing. Di sini juga termasuk surga pemancing ikan dasar laut/karang. Klo siang aku tidur sendiri di Pulau Poya Lisa, klo malam bersama beberapa nelayan, aku mancing sampe pagi. Kondisi cottagenya dulu parah…hancur, hanya ada satu yg layak huni darurat, aku tinggal di situ, setelah kerusuhan berbau SARA di Poso, sama sekali tidak ada turis yg datang ke sini, cottage2nya dibiarkan begitu saja. Saat itu cottage ini diabaikan oleh pemiliknya.

Kembali ke Laptop……..pagi itu bersama muklis sebagai pemandu, Tim menuju Pulau Tupae, 10 menit dari Poya. Pulau ini tampak jelas dari Poya. Berpasir putih juga. Di sini terdapat lebih banyak cottage daripada di Poya. Pengelolaannya pun lebih profesional. Turis di sini akan berebutan utk pindah ke Poya kalau mereka tau cottage di Poya ada yg kosong. Selama kami di Poya sdh dua couple yg pindah dari Tupae ke Poya. Alamnya dan suasananya menurutku memang masih lebih asik di Poya. Pulau Tupae di kelola oleh wanita Amerika yg menikah dengan pria Nusantara tetapi skrg sdh bercerai, ayo sapa pengen nikah ma Bule?. FYI lagi, banyak pulau2 di kep togean yg tanahnya dikuasai oleh orang asing, termasuk Kadidiri dan Taipi. Di Tupae ini, pagi2 muklis dah ngamuk2 sama pengelolanya karena kami gak diijinin untuk masuk dan mengeksplornya, ciehhh…bahasanya bo. Dalam hati..aku juga lebih marah.

Dari Tupae, kami dibawa ke hutan mangrove, terletak di antara Poya dan Tupae, agak menjorok ke dalam pulau. Lautnya hijau banget, suasananya tenang banget, cukup untuk menenangkan panasnya hati di Tupae tadi. Kicau burung banyak terdengar di sini.

Setelah hati cukup tenang, kami tancap gas menuju Pulau Siatu, tempat pemukiman suku Bajo. Di sini kami melihat berbagai jenis ikan karang yg ditangkap oleh suku Bajo, termasuk jenis2 Kerapu dan Napoleon. Arie sibuk ma ponakan2nya yg narsis2.

Puas melihat aktivitas suku bajo, kami tancap gas lagi menuju Kundurang. Info mengenai kundurang aku peroleh dari Along semalam sebelumnya, kenalan lama, nelayan yg dulu pernah sama2 memancing bareng, perjalanan ke sana memakan waktu 2 jam. Dari jauh di samping kanan kami, awan hitam sdh berkumpul, ombak sdh agak besar, sepertinya di pulau una-una sudah turun hujan lebat. Lama betul rasanya 2 jam itu, apalagi sambil was2 klo2 hujan deras turun dan ombak makin besar. Menjelang tiba di kundurang, ombak mereda, cuaca di sana tiba2 berubah cerah…dan Oh My God…so wonderful….karang2nya indah banget keliatan dari atas perahu, airnya jernih, warnanya…..macem2….lautnya warna-warni. Aku ambil gambarnya, aku liat hasilnya, dan ternyata kalah jauh sama aslinya.

Kundurang

"The most beautiful place that I've ever seen"

Di Kundurang ada sebuah rumah terbuat dari kayu dan papan tempat singgah bagi nelayan, berdiri di atas karang laut, tingginya sekitar 3 meter dari permukaan air. Aku duluan naik ke atas. Krn gak ada tangganya, nana ma arie awalnya gak brani naik, aku paksa2 untuk naik spya mereka bisa menyaksikannya pemandangan dari atas rumah panggung itu, maka sibuklah si Muklis membuatkan tangga2 darurat, dan merekapun naik ke atas. Karang laut yg warna-warni, ikan dgn macam2 warna, ular laut yg cantik, bintang laut warna biru, langit dan awan yg cantik, membayar semua kecemasan dan kelelahan kami selama perjalalan tadi.

"Me @ Kundurang"

Semua ada di sini. Kami lupa klo belum makan siang. Setelah prat..pret…kami tinggalkan kundurang menuju Bomba utk makan siang. Setelah makan siang kami menuju Poya dan beristirahat, setelah itu balik lagi ke Bomba utk mengambil gbr saat sunset dari Bomba.

"There is rainbow over there"

Malamnya kami ikut di pengajian yg diadakan oleh keluarga Ruli yg lagi berduka. Setelah itu kami ngobrol2 di dermaga Bomba bersama beberapa penduduk Bomba, dan balik lagi ke Poya utk istirahat. Malam itu sebenarnya aku berencana berangkat utk mancing bersama Muklis, tapi ternyata dia terkapar karena masuk angin….gak jd deh bawa pulang Ikan.

17 Agustus, Merdeka……..

Kami berkemas utk pulang, bawaan jadi lebih enteng dibanding ketika kami berangkat, beberapa pakaian kami tinggalkan untuk kenang2an bagi penduduk Bomba. Di Bomba, kami sarapan di t4 Ruli, menunya ayam liar yg berhasil mereka panah. Saat kami makan, beberapa kali utusan dari nahkoda kapal (Bodi) datang utk mengecek kesiapan kami, ternyata jdwal kapal utk berangkat sdh terlewati, nahkoda menunggui kami utk berangkat. Kapal gak berangkat klo kami belum naik.

Di dermaga kami sudah di tunggui oleh beberapa org, rupanya mereka gak mau kehilangan moment melepas keberangkatan kami, kyk pejabat penting aja kami wktu itu. Ehhh bener lho..sampe2 upacara bendera 17an di satu2nya SD yg ada di Pulau Bomba ditunda menunggu keberangkatan kami, karena instrktur upacaranya ikut mengantar ke dermaga. Setelah salam2an….kami naik ke kapal (bodi). Tali tambatan kapal dilepas, jangkar pun diangkat.

"Bodi"

Kurang lebih 10 meter meningggalkan dermaga, aku liat si Muklis berbicara serius dengan Pak Ismail (pemilik cottage), lalu berteriak ke arah kami ”Ardin…ardin…..internet…internet….jgn lupaa..!!!” sambil melambai-lambaikan tangannya. Mereka takjub setelah mendengar ceritaku ttg internet. Mereka ingin daerahnya dipromosiin lewat Internet, dibaca semua org di seluruh dunia.

Perjalanan normal mengarungi lautan Bomba-Ampana dapat ditempuh dengan waktu 2 jam, tetapi karena ombak yg besar dan mesin kapal yg rusak, perjalanan kami tempuh dalam 4 jam. Sekitar setengah jam meninggalkan Bomba, ombak makin membesar, agak hening memang waktu itu di dalam kapal. Kami berada di luar, dihaluan kapal, di dalam sdh tdk ada t4 lagi. Ombak menghantam kapal dari arah depan sebelah kiri gak brenti-brenti. Org2 mulai mengaji di dalam, sebagian lagi muntah2. Mendengar org mengaji….nyaliku jd ciut juga, pdhal aku pernah mengalami yg lebih parah dari ini. Pengen ngerokok untuk menetralisir keadaan, tapi air laut terus saja menciprati kami. Gak ada yg brani ngeluarin kamera utk motret. Kurang lebih 3 jam kami dalam situasi diombang ambingkan ombak. Ketika agak reda, kami disuguhi atraksi lumba2 dari kejauhan. Mereka melompat-lompat vertikal ke atas. Di depan kelompok lumba2, ada ikan yg lebih besar lagi…ohhh paus rupanya. Gak ada yg motret kejadian itu, selain agak jauh, air laut juga sesekali masih menciprati kami. Setengah jam menjelang tiba di Ampana, laut mulai tenang. Kapal kami melewati laut di depan tanjung api, yg katanya pasirnya bisa mengeluarkan api klo digali. Untuk alasan keamanan, pemerintah setempat melarang org2 pergi ke tempat itu.

Tiba di Ampana, setelah makan siang, kami langsung tancap gas…pukul 14.00 kami telah meninggalkan Ampana. Tujuan berikutnya adalah kota Tentena yg berada di tepi Danau Poso. Tim tiba di sana pukul 19.00. Ehh sebelumnya kami mampir makan duren di daerah Tojo, kata Arie sie durennya enak. Di Tentena, kami menginap di penginapan yg tepat berada di tepi Danau. Tarif penginapan di sini 115 rb untuk berempat.

18 Agustus, Pagi2 bener kami sdh bangun utk motret sunrise di tepi Danau, berharap dapet sunrise yg bagus, ehhhh….ternyata di tempat ini bagusnya pas lagi sunset karena matahari tenggelam pas di danaunya. Kucewa…tapi terobati ma awan yg cantik. Kami juga sempat naik ke suatu tempat di atas bukit (namanya pesanggrahan) untuk melihat danau dan kota Tentena dari atas.

"Kota Tentena di tepi Danau Poso"

Puas muter2in kota Tentena,kami lalu menuju ke Poso. Jam 13.00 kami tiba di Poso,setelah makan siang, kami balik menuju Palu. Perjalanan agak dikebut supaya bisa menyaksikan sunset di Tanjung Karang (Donggala). Tiba di palu jam 17.00, kami mengantar Ruli dulu ke rumahnya lalu tancap gas ke Tanjung Karang, Alhamdulillah….sunset masih terkejar.

"Sunset di Tanjung Karang, Donggala"

Balik dari Donggala, kami mampir makan Kaledo (makanan khas suku kaili) di Loli, lalu balik ke Palu dan istirahat di Wisma LPMP, Depdiknas.

19 Agustus, 06.00 Ke Bukit Jabal Nur lalu ke Univ. Tadulako, balik lagi ke Wisma lihat2 hasil foto dan mindahin ke laptop, ehhhh…ternyata salah satu memori card yg berisi foto2ku hilang………Kyknya jatuh dari kantong waktu di Tentena. Siang harinya mengantar Nana dan Arie ke Bandara.

Kepulauan Togean terdiri dari 5 pulau berukuran sedang, dan 69 pulau berukuran kecil. Di Togean, sebenarnya masih ada lagi spot2 yg berdasarkan cerita org2 setempat layak utk dikunjungi tetapi belum sempat kami kunjungi, diantaranya Pulau Taupan dan Manara. Konon Manara lebih indah dari Kundurang.

End.