Friday, January 15, 2010

There is no such thing as a free lunch

Para anggota dewan yang terhormat, sebentar lagi “mengumpat” itu gak gratis lho….

Kata-kata itu lebih tajam dari pisau, maka kata-kata ‘umpatan’ yang menyakitkan itu bisa memiliki konsekuensi hukum yang lebih berat daripada membunuh dengan sebilah pisau.

Sepenggal kalimat di atas memang terlalu berlebihan tetapi bisa saja tidak berlebihan. Saya hanya mencoba mengambil jalan tengahnya melalui tulisan ini, menawarkan ide yang bisa membuat semua orang merasa nyaman dengan umpatan. Menciptakan keadaan dimana semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengumpat dan orang2 tidak akan terusik dengan umpatan2 itu. Jangan tertawakan saya dulu sebelum membaca dan memahami keseluruhan ide ini, karena pada akhir tulisan ini mudah2an anda akan tertawa terbahak-bahak sambil mengumpat…’Guoblok kau Ardin !!!’.

Mungkin si Ruhut Sitompul itu memiliki kepuasan tersendiri setelah mengumpat, begitu pula dengan beberapa orang (silahkan introspeksi!) yang setahu saya sangat suka sekali mengumpat. Mengumpat disini bisa disamakan dengan memperoleh kepuasan dan kesenangan, sama seperti kesenangan dan kepuasan setelah melakukan hobi atau aktivitas tertentu. Untuk memperoleh kepuasan perlu pengorbanan, beberapa pengorbanan telah dapat diukur dengan nilai sejumlah uang. Setelah puas bermain golf sudah pasti anda bayar biaya sewa lapangan dan caddy, setelah puas dipijat anda pasti bayar si tukang pijatnya, setelah puas dilayani PSK anda pasti dituntut bayar, sehingga demikian pula jika kita puas mengumpat setelah itu harusnya bayar.

Ada pula beberapa kepuasan yang dikecualikan dari keharusan membayar seperti kepuasan bermain sepak bola di lapangan umum, kepuasan seks sepasang suami istri yang sah, kepuasan mandi di sungai dan kepuasan2 lain yang karena kepuasan yang kita peroleh tidak lantas mengurangi hak dan kepuasan orang lain dan atau tidak memerlukan pengorbanan dan biaya pihak lain. Karena sebenarnya yang kita bayarkan adalah nilai pengorbanan hak dan biaya orang lain yang telah membuat kita puas. Dalam kasus mengumpat, satu pihak puas sementara pihak lain mengorbankan perasaan harga diri yang memicu ketidaktentraman.

Siapa diantara kita yang tidak ingin hidup tenang dan tentram? Ketenangan hidup dan ketentraman adalah idaman sekaligus hak semua warga negara dan karenanya kita membayar pajak kepada pemerintah agar menyediakan jasa polisi, tentara, dan aparat penegak hukum lainnya demi tujuan kehidupan yang tentram. Pajak yang kita bayarkan adalah bukti kerelaan pengorbanan untuk memperoleh kepuasan dalam ketentraman hidup.

Setelah menyadari bahwa kepuasan mengumpat merupakan kebutuhan (emosional) dari beberapa pihak yang menginginkannya, sementara di pihak lain sebagian kita juga membutuhkan kepuasan untuk hidup dengan tenang tanpa umpatan, maka saya berkesimpulan bahwa mengumpat merupakan komoditas bernilai ekonomi dan karenanya bisa diperjual belikan.

Menciptakan keadaan yang tenteram adalah salah satu tugas pemerintah yang telah dititipkan oleh warganya, sehingga segala yang mengurangi nilai ketentraman masyarakat adalah tugas negara yang mengaturnya. Menurut saya, daripada menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku pengumpatan, akan lebih baik jika pemerintah menjual saja hak untuk mengumpat ini pada masyarakat umum, sehingga yang hobi ngumpat bisa tersalurkan kepuasannya dan pemerintah bisa memperoleh keuntungan dari jualannya. Keuntungan dari jualan bisa digunakan untuk memperbaiki fasilitas2 pelayanan publik lainnya disamping utk keperluan membangun sistem “bayar umpat” ini.

Caranya? Aahh..pasti banyak yang bisa memikirkan bgmana mekanisme dan caranya. Bisa dengan memberi “lisensi umpat” atau bisa juga dengan “voucher umpat”. Dengan “lisensi umpat”, hanya yg memiliki lisensi yg boleh mengumpat, kalau tidak memiliki lisensi dan kedapatan ngumpat, bisa kena denda yang lebih besar. Atau kalau dengan “voucher umpat”, setiap warga yang telah dewasa (memiliki KTP) wajib pula mengantongi “voucher umpat” setiap kali mengumpat nilai pulsa voucher akan dikurangi oleh polisi bagian “umpat-umpatan”. Nantinya bisa saja Bareskrim jadi Bareskrimpat (Badan Reserse Kriminal dan Umpat2an).

Berapa nilai rupiah sekali ngumpat? Nilainya harusnya setara dengan harga diri yang telah dikorbankan oleh “korban umpat”. Untuk menghitungnya, banyak ahli ekonomi yang bisa memperkirakan berapa nilai sekali umpat berdasarkan harga pasar sesuai kekuatan supply dan demand. Jangankan nilai harga diri, harga nyawa pun bisa kok dihitung oleh mereka.

Pasar “umpatan” cukup besar dan potensial di negeri ini. Di jalan2 yang macet dan semrawut, di bandara2, di rumah sakit, di sekolah2, acara2 infotainment dan debat di televisi, pada komentar2 di situs2 berita, fasilitas2 publik lainnya bahkan sampai pada rapat2 anggota dewan yang terhormat itu. Tentu saja definisi dan batasan “umpatan” harus dibuat jelas dulu.

Kita lihat saja nanti, terlepas dari efektif tdknya kerja aparat penegak dan sistem “umpat2an” ini, jika penghasilan negara tidak mengalami peningkatan signifikan berarti kebijakan ini berhasil menertibkan masyarakat. Yang saya khawatirkan justru jika negara kita memperoleh peningkatan pendapatan yang signifikan, maka kita akan dikenal di dunia internasional sebagai negara penuh “umpatan”. Jangan-jangan potensi modal utama kekayaan negara kita bukan pada kekayaan alamnya yang berlimpah dan pesona alamnya yang indah, bukan pada kemampuan SDMnya, bukan pada keramahan bangsanya, tetapi pada potensi “umpat”an warganya.

Mengumpat atau memaki memang merupakan luapan emosi yang terlalu berlebihan. Tetapi bukankah kebanyakan tindakan kriminal juga dipicu oleh emosi dan nafsu.

Semangat jaman sekarang semakin jauh dari toleransi. TELUR ASINNN !!!

Tuesday, January 5, 2010

Panjang jangan dipotong, Pendek jangan disambung", Baduy was so innocent....


Sebenarnya agak ragu juga utk mempublish cerita ttg Baduy ini, takut kalau2 tulisan ini memprovokasi org2 utk mengunjungi Baduy dan berdampak pada pergeseran kearifan, kesahajaan dan keteguhan mereka mempertahankan adat leluhurnya. Bukan berarti saya ingin mengatakan bahwa kita yg bukan org Baduy ini tidak arif dan sahaja, silahkan menilai sendiri. Tetapi kemudian saya berpikir bahwa masalahnya bukan terletak pada kunjung-mengunjungi itu, tetapi bagaimana perilaku kita saat mengunjungi dan belajar tentang sesuatu dari mereka. Hormatilah adat leluhur mereka, taati ketentuan yang telah mereka buat, dan terakhir…jangan buang sampah sembarangan selama dalam perjalanan.

Inilah sebagian petuah leluhur Baduy yang terdapat di pintu masuk kampung Baduy:

gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang dirusak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pondok teu meunang disambung
nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeun

artinya:
gunung tak boleh dihancurkan
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
buyut tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang jangan harus dinafikan
yang benar harus dibenarkan



Beginilah ceritanya…..
Sekitar pukul 14.00, hari itu (25 Des ’09) kami pun start dari Salemba menuju Kampung Baduy. Tim kami berjumlah 8 org yang terdiri dari 3 org fasilitator kami dari WABI (Wisata Alam Budaya Indonesia) yang sudah sering berkunjung ke Kampung Baduy, 2 org tenaga medis, seorang seniman, seorang traveller dan saya sendiri “manusia biasa yang suka senang-senang”. Pukul 18.00 kami tiba di Desa Ciboleger, desa terakhir yang dapat dilalui kendaraan roda empat. Di desa ini kami menginap semalam di rumah salah seorang penduduk. Rute kami waktu itu adalah Salemba (Jakarta)-Serang-Pandeglang-Rangkasbitung-Leuidamar-Ciboleger.

Suku Baduy Dalam sering berkunjung ke Desa Ciboleger ini, selain untuk membawa hasil bumi, alasan lain adalah utk “Sekedar jalan-jalan” kata mereka yg kami tanyai. Beruntung sekali malam itu kami bisa bertemu sekaligus ngobrol banyak dengan salah seorang ‘pejabat’ dari Baduy Dalam. Jarang-jarang orang ini bisa ditemui baik di Wilayah Baduy Dalam maupun Luar. Pak Mursyid namanya yang oleh teman2 dari WABI dijuluki dengan Menteri Luar Negeri-nya Suku Baduy Dalam (Cibeo). Obrolan malam itu saya rekam dengan menggunakan alat rekam elektronik setelah sebelumnya memohon ijin kepadanya. Hasil rekaman saya tuangkan dalam tulisan ini. Kesan tentang Pak Mursyid yang saya peroleh malam itu adalah…orang ini cerdas dan wawasannya luas, tdk seperti gambaran Suku Baduy yg ada dalam pikiran saya sebelumnya.



Pagi hari, setelah packing, kami bersiap menuju ke wilayah Baduy Dalam. Start pukul 8 pagi, perjalanan kami menuju wilayah Baduy Dalam memakan waktu ± 5 jam dengan berjalan kaki, melewati hutan, bukit, ladang, beberapa sungai dan sebuah danau kecil/telaga. Terdapat beberapa jalur/rute menuju Baduy Dalam, kami memilih berangkat melalui jalur tengah yang kalau dilihat di peta yg jarak tempuhnya paling dekat, tetapi dengan medan yang lebih sulit. Jalur ini melewati sebuah danau yg namanya Danau Dandang Ageng. Setelah berjalan selama hampir 2 jam lamanya, sampailah kami di salah satu kampung yang dihuni suku Baduy Luar setelah sebelumnya melewati beberapa ‘leuit’ atau bangunan tempat menyimpan padi yg terdapat di sebelah kanan dan kiri jalan setapak yang kami lalui. Kampung ini namanya Kadu Keter. Di ujung kampung ini terdapat sebuah sungai yang merupakan batas antara wilayah Baduy Luar dengan Baduy Dalam. Sebelum menyeberang melewati sungai ini kami kembali diingatkan untuk menonaktifkan HP dan alarmnya, MP3 player, dan dilarang memotret selama berada di area Baduy Dalam. Selama perjalanan, kami ditemani oleh beberapa org Suku Baduy Dalam yang membantu membawakan logistik, mereka adl Sapri, Kodo, Yuli, dan 2 org anak kecil yaitu Calki dan Sembiren. Dalam perjalanan kami menemukan duren…maka dalam sekejap tamatlah riwayat duren-duren itu. Tanjakan terakhir disebut tanjakan ‘penyesalan’, merupakan medan tersulit karena panjangnya tanjakan. Sekitar pukul 13.00 kami tiba di Kampung Cibeo yg merupakan salah satu dari tiga kampung yg ada di wilayah Baduy Dalam.



Sekilas Tentang Baduy Dalam
Selama ini saya hanya tahu kalau masyarakat Baduy dikelompokkan menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perbedaan keduanya terletak pada keteguhan memegang prinsip adat leluhur. Baduy Dalam dikenal sebagai masyarakat Baduy yang masih secara teguh memegang ketentuan2 adat dari leluhur mereka, sedangkan Baduy Luar sedikit sudah mengenal dan menerapkan pembaruan dan modernisasi. Jika suku Baduy Dalam dilarang menggunakan alas kaki dan menaiki kendaraan bermotor, suku Baduy Luar sudah ada yang memiliki motor. Sepintas dari cara berpakaian pun dapat dilihat perbedaannya, Suku Baduy Dalam menggunakan ikat kepala warna putih sedangkan Baduy Luar menggunakan ikat kepala warna hitam dengan motif seperti batik, bahkan tidak jarang terlihat tidak menggunakan ikat kepala.



Di daerah Baduy Dalam terdapat 3 buah kampung yaitu Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Masing-masing kampung memiliki peran dan kekhasannya sendiri2. Kampung Cibeo merupakan kampung pertanian, kampung Cikertawana adalah pengobatan/perdukunan, sedangkan Cikeusik merupakan kampung keagamaan/adat. Dari tiga kampung ini yang paling besar wilayah dan jumlah penduduknya adalah Cibeo.

Tiap-tiap kampung dipimpin oleh seorang Ketua Adat yg disebut Pu’un (klo di sini setara Presiden kali ya...). Dalam menjalankan pemerintahan, Pu’un dibantu oleh Jaro (Perdana Menteri). Masing2 Pu’un memiliki kekuasaan otoritas atas kampungnya. Koordinasi antar Pu’un dari tiga kampung biasanya terjadi menjelang dilaksanakan upacara2 ritual keagamaan yang melibatkan seluruh kampung termasuk suku Baduy Luar. Masa jabatan seorang Pu’un tidaklah menurut suatu periode tertentu dan dipilih bukan saja karena faktor keturunan. Pu’un dipilih berdasarkan kemampuan dan melalui musyawarah mufakat. Pu’un adalah ketua adat yang selalu harus berada di dalam wilayah Baduy, tetapi jika kita ke Baduy Dalam jangan berharap bisa dengan mudah bertemu dengannya, hanya orang2 tertentu saja yang bisa, dan kami bukan termasuk golongan orang yg beruntung itu. Kami hanya bisa diterima oleh Jaro untuk ber-bincang2. Meskipun sebagai ‘presiden’, pu’un juga bekerja di ladang dan berbaur dengan masyarakat Baduy lainnya. Mungkin saja, tanpa kami sadari ketika kami sedang berbaur dan ngobrol dengan masyarakat Suku Baduy, salah seorang diantara mereka adalah Pu’un, who knows ? Ceileeeeh….

Pu’un dan Jaro tidaklah memiliki fasilitas pejabat layaknya pejabat pemerintahan kita, memang ada rumah dinas utk Pu’un dan Jaro tetapi bentuk dan modelnya sama dengan rumah kebanyakan rakyatnya (semua rumah di Baduy Dalam memiliki model sama). Rumah dinas Pu’un Kampung Cibeo terletak di depan alun2 kampung, hanya bisa dilihat dari jauh, kita tdk boleh masuk ke halamannya yg ditumbuhi rumput hijau, tdk ada pagar, area larangan masuk hanya ditandai dengan patok bambu di sudut2nya. Konon pernah ada tamu yang tdk mengerti dan tak sengaja masuk area ini, menurut cerita mereka terdorong kembali keluar area oleh semacam tembok yang lembut seperti kasur. Rumah dinas Jaro berada pada deretan yang sama dengan rumah penduduk biasa lainnya, ukurannya sedikit lebih luas, letaknya di ujung deretan rumah penduduk dan letaknya paling dekat dengan halaman rumah Pu’un.

Cibeo merupakan kampung yang paling ramai dari ketiga kampung yg ada. Luas kompleks pemukimannya tidak lebih besar dari Plasa Semanggi. Ada Sekitar 130 KK jika dihitung beserta janda2nya. Jumlah rumah ada 97 buah dengan model dan ukurannya semua sama. Rumah suku Baduy Dalam hanya boleh menghadap ke utara dan selatan. Rumahnya berbentuk rumah panggung dengan ketinggian sekitar ½ hingga 1 meter dari tanah. Di depan rumah terdapat teras kecil ukuran kurang lebih ½ x 3 meter. Rumah orang Cibeo hanya ada satu pintu terletak di depan pada bagian tengah, tdk ada pintu belakang, tdk ada jendela. Dalam rumah hanya terdiri dari 2 ruangan yaitu 1 ruang keluarga (istilah sy sendiri) yg berbentuk L dan sebuah ruang tidur utama. Jangan mimpi ada listrik di rumah ini. Ruang tidur utama sekaligus berfungsi sebagai dapur, ukurannya sekitar 3x3 meter, terdapat tungku untuk memasak disini, tdk ada jendela, hanya ada lubang2 kecil pada sela2 anyaman bambu yang menjadi dindingnya. Rangka rumah terbuat dari kayu, dindingnya dari anyaman bambu, lantai dari batang2 bambu, dan atapnya berupa rumbia. Dalam membangun rumah mereka sama sekali tidak menggunakan paku dan besi. Selamat membayangkan…..

Suku Baduy adalah penganut agama/kepercayaan ‘Sunda Wiwitan’,. Menurut mereka, orang Baduy merupakan keturunan dari Batara Cikal yg oleh orang2 sering dihubungkan dengan Nabi Adam. Batara Cikal merupakan utusan kayangan ke bumi yg bertugas untuk menjaga harmonisasi di bumi. Oleh sebab itulah orang Baduy menganggap bahwa keberadaan mereka adalah untuk menjaga harmonisasi alam. ‘Kiblat’ org Baduy menghadap ke selatan dan patokan arah ini digunakan pada upacara2 adat mereka. Setiap setahun sekali orang Baduy menyelenggarakan upacara adat/keagamaan yang dilaksanakan pada bulan ‘Kalima’ menurut versi tanggalan mereka (gak tau deh bulan Kalima itu jatuh di bulan apa). FYI: penanggalan orang Baduy berbeda dengan penanggalan yg biasa kita gunakan, dan karena waktu yg mepet saya tdk bertanya lebih jauh tentang itu, saya lebih tertarik dengan Arca Domas.

Tidak semua orang bisa mengunjungi Arca Domas (obyek pemujaan orang Baduy). Hanya orang2 Baduy tertentu saja yang boleh ke sana itupun orang2 pilihan Pu’un. Waktu mengunjunginya pun tidak boleh sembarangan, hanya pada saat upacara2 keagamaan saja. Pada saat upacara keagamaan seluruh Pu’un dari ketiga kampung turut terlibat termasuk tokoh2 adat dari Baduy Luar. Merujuk pada kiblat org Baduy yang mengarah ke selatan, kemungkinan Arca Domas berada di wilayah selatan. Kampung Cikeusik merupakan wilayah kampung yg paling selatan dari ketiganya, kemungkinannnya Arca Domas berada paling dekat dengan kampung ini, apalagi Cikeusik merupakan kampung yang berperan dalam upacara2 adat keagamaan. Bagi saya obyek ini sangat penuh misteri dan sangat dirahasiakan tempatnya.

Mata Pencaharian
Masyarakat Baduy Dalam bermata pencaharian sebagai petani ladang. Mereka menanam padi di ladang-ladang tanpa adanya pengairan/irigasi, hanya mengandalkan hujan. Untuk menambah penghasilan, mereka juga menjual hasil kebun berupa buah-buahan, menjual madu hutan, membuat golok, dan membuat kerajinan gelang, cincin, kalung, yang terbuat dari akar pohon.

Hasil pertanian dan buah2an dipasarkan ke tengkulak2 yang banyak terdapat di luar wilayah Baduy. Sedangkan madu, golok dan anyaman dijual ke pengunjung/tamu yang datang ke wilayah Baduy. Bahkan, untuk menjual golok, madu, dan hasil kerajinan lainnya, laki-laki dari Suku Baduy Dalam biasa melakukan perjalanan ke Jakarta, bahkan ketika kami tanya ada yg sudah sampai Bandung, jalan kaki lho…tanpa alas kaki, tanpa naik kendaraan umum (karena memang dilarang oleh adat mereka). Orang Baduy konon sangat patuh kepada adat leluhur mereka, selain itu klo ada yang melanggarnya baik itu mereka lakukan di luar wilayahnya pasti akan ketahuan oleh Pu’un. Mereka biasanya berjalan kaki ke Jakarta secara berkelompok yg biasanya tidak lebih dari 5 org. Ketika berkelana keluar wilayahnya, mereka biasanya mengunjungi kenalan mereka yang sebelumnya pernah berkunjung ke Baduy Dalam dan meninggalkan alamatnya utk dikunjungi. Kepada kenalan itulah biasanya mereka menawarkan madu, golok, dan hasil kerajinan lainnya. Suku Baduy tidak akan melakukan aktifitas yg berat2 setelah pukul 18.00, sehingga semua aktifitas di atas jam tersebut harus dihentikan. Begitupun jika mereka sedang berkelana ke Jakarta, di atas jam tersebut mereka sdh harus istirahat, biasanya mereka beristirahat di kantor2 lurah, pos2 polisi, atau dirumah kenalan.

Seluruh lahan yang ada di Baduy Dalam dimiliki bersama oleh masyarakat adat. Tidak ada kepemilikan pribadi atas lahan. Ketentuan mengenai siapa yang boleh membuka dan mengelola lahan didasarkan keputusan adat melalui musyawarah mufakat. Selain lahan yang dikelola sendiri, terdapat pula lahan yang dikelola secara bersama untuk kepentingan bersama seperti utk upacara2 adat. Dalam mengelola lahan, orang Baduy Dalam tidak diperbolehkan merubah struktur dan kemiringan lahan. Tidak ada terasering atapun pengairan, benar2 apa adanya, tanpa menggunakan bajak, tanpa pestisida, menanamnya pun hanya menggunakan bambu yang ujungnya diruncingin (ngasep), tetapi yg jelas ada ritual2 sebelumnya dan sesudahnya. Masyarakat Baduy tidak pernah mengalami kelaparan. Tidak semua hasil pertanian dijual, sebagian besar disimpan di ‘leuit’ utk cadangan pangan. “Kami mengutamakan memenuhi kepentingan diri/kampung kami dulu, kemudian klo ada kelebihannya baru kami jual” kata Pak Mursyid.



Kembali ke cerita perjalanan……….
Setelah tiba di kampung Cibeo, kami bersih2 sebentar di sungai. Sungai inilah yang digunakan oleh penduduk utk mandi dan membuang hajat, karena memang tdk ada kamar mandi di setiap rumah mereka, sedangkan untuk keperluan air masak, mereka mengambilnya di pancuran yg berada tdk jauh dari kampung dengan menggunakan bambu.

Perjalanan kemudian kami lanjutkan ke kampung Cikertawana, tidak terlalu jauh jaraknya, hanya butuh sekitar 45 menit dari Cibeo. Hmm…kampung ini lebih kecil, hanya ada sekitar 20an rumah. Waktu kami sampai, kampung ini sepi, hanya ada beberapa laki2 yang hari itu bertugas ronda menjaga kampung. Agak lebih mistik dan misterius dibanding dengan Cibeo. Orang2nya juga lebih tertutup dan memandang penuh selidik kepada kami. “Santai aje nape man….!!!” Pekik gw, tapi dalam hati.



Dari kampung Cikertawana, kami mengambil jalan memutar bukan utk menuju ke kampung berikutnya (Cikeusik) tapi untuk kembali ke Cibeo. Cikeusik masih jauh amir (sekitar 4 jam lagi). Kami melewati areal kuburan yang tdk tampak seperti kuburan. Bener2 asli gak serem, karena gak ada batu nisannya. Seumur hidup gw baru sadar disini klo kuburan tuh yg paling serem justru nisannya daripada hantunya. Orang Baduy klo meninggal dikubur tanpa nisan. Yang meninggal hilang tanpa jejak kuburan, tanpa foto.

Tiba kembali di Cibeo kami lalu disuguhi kopi dan pisang goreng di salah satu rumah penduduk. Di tempat inilah kami akan menginap malam ini. Kopi kali ini agak beda, bukan disuguhkan digelas tapi di dalam bambu setinggi gelas….hmm..nikmat nian, aroma kayu bakarnya terasa. Pisang gorengnya gak kalah nikmat, digoreng dengan minyak kelapa asli kali ya? Sambil menikmati kopi dan pisang goreng, kami disuguhi atraksi kecil oleh seorang bocah Baduy (usia sekitar 5 tahun) bernama ‘Jemmy’ yang menaruh kakinya di atas api yang menyala.

Sore itu, setelah istirahat sejenak, kami lalu menuju ke rumah salah seorang penduduk yang sedang menderita sakit. Sementara tim medis bekerja di dalam rumah, saya mengamati anak2 kecil desa yang lucu2 menggunakan baju yg sama berwarna putih (baju khas Baduy Dalam) memandang menggodaku. Menggoda utk memotret maksudnya…sempat reflek ingin mencari kamera, tetapi keburu sadar klo tdk boleh memotret selama di area Baduy Dalam. Anak2 itu (usia sekitar 5 tahunan) lucu2 karena kecil2 sdh menyelipkan golok di sampingnya. Atau mungkin saja tadi mereka menggoda dan memancingku utk memotret, begitu gw potret serempak mereka akan ngomong ‘kena lu’ atau ‘habisi’ dan golok2 mereka pun beterbangan ke arahku. Lebay….

Kulit anak2 itu putih2 demikian juga sebagian besar kulit org cibeo pada umumnya walaupun mungkin jarang mandi, kalaupun mandi sdh pasti tanpa menggunakan sabun karena gak boleh ada deterjen mengalir di tanah Baduy Dalam.

Sore itu kami habiskan dengan ngobrol bersama beberapa penduduk Cibeo yg bisa jadi salah seorang diantaranya adalah Pu’un. Laki2 org Cibeo pandai berbahasa Indonesia, padahal mereka tdk pernah belajar baca tulis. Saya jarang mendengar kaum perempuannya berbicara dalam bahasa Indonesia. Agaknya perempuan Baduy lebih tertutup…dan sedikit menghindar untuk berinteraksi dengan kami, padahal diantara kami juga terdapat perempuan. Tidak ada sekolah formal di Baduy, adanya sekolah alam. Alamlah yg membentuk karakter dan kearifan masyarakat Baduy, termasuk mengajarkan mereka berbahasa Indonesia. Demikian pula fasilitas kesehatan, tdk ada puskesmas dan posyandu. Dukunlah yg berperan kalau ada yang sakit demikian juga dalam persalinan.

Menjelang maghrib…saatnya gw mandi (tanpa sabun dan odol)
*menikmati sensasi percikan air dan hembusan angin sore pada sekujur tubuh tanpa kecuali di alam terbuka
Itulah kata2 yang ingin kutulis sebagai update-an statusku saat itu, andai saat itu bisa akses pesbuk.



Malam hari kami ngobrol di depan rumah sambil membakar kayu utk menghangatkan badan. Kodo…kembali menyuguhi Kopi dalam gelas bambu. Kodo ini usianya masih sekitar hampir 20 tahun, dan ternyata telah menikah. Masyarakat Baduy Dalam umumnya melangsungkan pernikahan dari hasil perjodohan. Tetapi sebelumnya melalui proses perkenalan dan pendekatan terlebih dahulu. Jika keduanya merasa cocok baru deh nikah. Orang Baduy harus menikah dengan orang Baduy juga. Jika ingin menikah dengan orang di luar Baduy, maka harus bersedia keluar dari kampung. Meskipun dijodohkan, orang Baduy Dalam belum pernah ada yang bercerai, menurut mereka menikah hanya boleh sekali, kecuali pasangannya telah meninggal. Tidak ada perceraian, tidak ada poligami dan poliandri, perselingkuhan ??? entahlah belum ketahuan aja atau memang tidak ada. Si Seniman, salah seorang dari tim kami, selalu bertanya tentang perkawinan, sepertinya dia ngotot ingin menikahi wanita Baduy. Malam itu waktu kami habiskan hanya dengan ngobrol ditemani kunang2….



Pagi harinya, kami mendapat kabar kalau Jaro (sang Perdana Menteri) bersedia menerima kami di rumahnya utk bincang2. Segala informasi yang kami temukan dan peroleh sebelumnya kami konfirmasikan dengan Jaro. Orangnya sederhana, seperti kebanyakan orang Baduy Dalam umumnya, pakaiannya pun sama, memakai baju dari kain putih tanpa kancing, memakai ikat kepala dari kain warna putih, dan memakai celana dari bahan kain warna hitam lurik2 yang dibentuk seperti rok. Yang berbeda adalah orang ini lebih berhati-hati dalam berbicara. Tutur katanya seperti diatur dan dipikirkan masak2 dulu sebelum diucapkan. Kami berusaha sesantai mungkin tapi dia tdk terpengaruh. Bahkan ketika kami membuat joke2 pun dia tetap datar2 saja. Di akhir pertemuan kami memberi bantuan obat2an ala kadarnya untuk diberikan kepada masyarakat yang membutuhkannnya kelak setelah sebelumnya memberikan penjelasan mengenai cara mengkonsumsi obat2an tersebut.

Siang hari kami berkemas untuk balik ke Ciboleger, dalam perjalanan kali ini kami mengambil rute yang berbeda. Saat sedang kelelahan dan beristirahat kami mendengar suara alunan musik yang kalau malam hari mungkin suara itu terasa menyeramkan. Ternyata suara itu berasal dari batang2 bambu yang ditancapkan di dekat ladang2 yang kalau tertiup angin akan mengeluarkan bunyi2an. Batang2 bambu itu setinggi lima meter lebih dan pada sisi2nya diberi lubang. Maksud dari bunyi2 itu adalah untuk menghibur Dewi Sri (Dewi Padi) agar sang dewi bisa terhibur dan kemudian memberikah berkah hasil panen yang melimpah. Nama kesenian itu adlah ‘Calintuk’ atau ‘Kesenian Dewi Sri’.



Rute kali ini lebih panjang dari saat berangkat. Duren jatuh masih merupakan pemandangan wajib. Kami juga melewati sebuah jembatan yang menghubungkan wilayah Baduy Dalam dengan Baduy Luar. Jembatan ini terbuat dari bambu2 yang hanya diikat dengan ijuk, tanpa ada paku ataupun alat2 modern lainnya. Begitu sampai di seberang jembatan (daerah Baduy Luar) saya langsung mengeluarkan kamera dan jeprat-jepret karena memang sudah diperkenankan untuk memotret jika berada di wilayah Baduy Luar. Lebih banyak kampung Baduy Luar yang kami lewati jika melalui jalur ini, salah satunya yang tertata cantik dan rapi adalah kampung Cicakal. Kampung ini berada di kemiringan, jalanannya hanya berupa jalan setapak dari batu2 yg berundak-undak. Sepanjang jalan kami melihat para wanita2 cantik yang menenun kain.












Ketika sampai di daerah yang namanya Gajeboh, kami kembali beristirahat dan menyantap duren. Dari Gajeboh, hujan mulai turun…bergegas kami menyiapkan jas hujan, dan jalanan pun mulai licin. Kami tiba di Ciboleger sekitar jam 16.00, kemudian bersih2 dan balik kembali ke Jakarta. Tiba di Jakarta sekitar pukul 21.00.



Tulisan ini mungkin terkesan ‘sok tahu’ tentang gambaran masyarakat Baduy terutama Baduy Dalam. Gambaran ini hanya diperoleh selama 2 hari satu malam berada di wilayah Baduy Dalam. Untuk itu dimaklumi sajalah kalau ada yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya ada. Kritikan dan masukan sangat diharapkan. Maaf juga kalau terlalu panjang, akan lebih panjang lagi kalau semuanya saya ceritakan di sini.

Hanya sekedar berbagi pengalaman saja……..mudah2an bermanfaat.