Friday, January 15, 2010

There is no such thing as a free lunch

Para anggota dewan yang terhormat, sebentar lagi “mengumpat” itu gak gratis lho….

Kata-kata itu lebih tajam dari pisau, maka kata-kata ‘umpatan’ yang menyakitkan itu bisa memiliki konsekuensi hukum yang lebih berat daripada membunuh dengan sebilah pisau.

Sepenggal kalimat di atas memang terlalu berlebihan tetapi bisa saja tidak berlebihan. Saya hanya mencoba mengambil jalan tengahnya melalui tulisan ini, menawarkan ide yang bisa membuat semua orang merasa nyaman dengan umpatan. Menciptakan keadaan dimana semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengumpat dan orang2 tidak akan terusik dengan umpatan2 itu. Jangan tertawakan saya dulu sebelum membaca dan memahami keseluruhan ide ini, karena pada akhir tulisan ini mudah2an anda akan tertawa terbahak-bahak sambil mengumpat…’Guoblok kau Ardin !!!’.

Mungkin si Ruhut Sitompul itu memiliki kepuasan tersendiri setelah mengumpat, begitu pula dengan beberapa orang (silahkan introspeksi!) yang setahu saya sangat suka sekali mengumpat. Mengumpat disini bisa disamakan dengan memperoleh kepuasan dan kesenangan, sama seperti kesenangan dan kepuasan setelah melakukan hobi atau aktivitas tertentu. Untuk memperoleh kepuasan perlu pengorbanan, beberapa pengorbanan telah dapat diukur dengan nilai sejumlah uang. Setelah puas bermain golf sudah pasti anda bayar biaya sewa lapangan dan caddy, setelah puas dipijat anda pasti bayar si tukang pijatnya, setelah puas dilayani PSK anda pasti dituntut bayar, sehingga demikian pula jika kita puas mengumpat setelah itu harusnya bayar.

Ada pula beberapa kepuasan yang dikecualikan dari keharusan membayar seperti kepuasan bermain sepak bola di lapangan umum, kepuasan seks sepasang suami istri yang sah, kepuasan mandi di sungai dan kepuasan2 lain yang karena kepuasan yang kita peroleh tidak lantas mengurangi hak dan kepuasan orang lain dan atau tidak memerlukan pengorbanan dan biaya pihak lain. Karena sebenarnya yang kita bayarkan adalah nilai pengorbanan hak dan biaya orang lain yang telah membuat kita puas. Dalam kasus mengumpat, satu pihak puas sementara pihak lain mengorbankan perasaan harga diri yang memicu ketidaktentraman.

Siapa diantara kita yang tidak ingin hidup tenang dan tentram? Ketenangan hidup dan ketentraman adalah idaman sekaligus hak semua warga negara dan karenanya kita membayar pajak kepada pemerintah agar menyediakan jasa polisi, tentara, dan aparat penegak hukum lainnya demi tujuan kehidupan yang tentram. Pajak yang kita bayarkan adalah bukti kerelaan pengorbanan untuk memperoleh kepuasan dalam ketentraman hidup.

Setelah menyadari bahwa kepuasan mengumpat merupakan kebutuhan (emosional) dari beberapa pihak yang menginginkannya, sementara di pihak lain sebagian kita juga membutuhkan kepuasan untuk hidup dengan tenang tanpa umpatan, maka saya berkesimpulan bahwa mengumpat merupakan komoditas bernilai ekonomi dan karenanya bisa diperjual belikan.

Menciptakan keadaan yang tenteram adalah salah satu tugas pemerintah yang telah dititipkan oleh warganya, sehingga segala yang mengurangi nilai ketentraman masyarakat adalah tugas negara yang mengaturnya. Menurut saya, daripada menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku pengumpatan, akan lebih baik jika pemerintah menjual saja hak untuk mengumpat ini pada masyarakat umum, sehingga yang hobi ngumpat bisa tersalurkan kepuasannya dan pemerintah bisa memperoleh keuntungan dari jualannya. Keuntungan dari jualan bisa digunakan untuk memperbaiki fasilitas2 pelayanan publik lainnya disamping utk keperluan membangun sistem “bayar umpat” ini.

Caranya? Aahh..pasti banyak yang bisa memikirkan bgmana mekanisme dan caranya. Bisa dengan memberi “lisensi umpat” atau bisa juga dengan “voucher umpat”. Dengan “lisensi umpat”, hanya yg memiliki lisensi yg boleh mengumpat, kalau tidak memiliki lisensi dan kedapatan ngumpat, bisa kena denda yang lebih besar. Atau kalau dengan “voucher umpat”, setiap warga yang telah dewasa (memiliki KTP) wajib pula mengantongi “voucher umpat” setiap kali mengumpat nilai pulsa voucher akan dikurangi oleh polisi bagian “umpat-umpatan”. Nantinya bisa saja Bareskrim jadi Bareskrimpat (Badan Reserse Kriminal dan Umpat2an).

Berapa nilai rupiah sekali ngumpat? Nilainya harusnya setara dengan harga diri yang telah dikorbankan oleh “korban umpat”. Untuk menghitungnya, banyak ahli ekonomi yang bisa memperkirakan berapa nilai sekali umpat berdasarkan harga pasar sesuai kekuatan supply dan demand. Jangankan nilai harga diri, harga nyawa pun bisa kok dihitung oleh mereka.

Pasar “umpatan” cukup besar dan potensial di negeri ini. Di jalan2 yang macet dan semrawut, di bandara2, di rumah sakit, di sekolah2, acara2 infotainment dan debat di televisi, pada komentar2 di situs2 berita, fasilitas2 publik lainnya bahkan sampai pada rapat2 anggota dewan yang terhormat itu. Tentu saja definisi dan batasan “umpatan” harus dibuat jelas dulu.

Kita lihat saja nanti, terlepas dari efektif tdknya kerja aparat penegak dan sistem “umpat2an” ini, jika penghasilan negara tidak mengalami peningkatan signifikan berarti kebijakan ini berhasil menertibkan masyarakat. Yang saya khawatirkan justru jika negara kita memperoleh peningkatan pendapatan yang signifikan, maka kita akan dikenal di dunia internasional sebagai negara penuh “umpatan”. Jangan-jangan potensi modal utama kekayaan negara kita bukan pada kekayaan alamnya yang berlimpah dan pesona alamnya yang indah, bukan pada kemampuan SDMnya, bukan pada keramahan bangsanya, tetapi pada potensi “umpat”an warganya.

Mengumpat atau memaki memang merupakan luapan emosi yang terlalu berlebihan. Tetapi bukankah kebanyakan tindakan kriminal juga dipicu oleh emosi dan nafsu.

Semangat jaman sekarang semakin jauh dari toleransi. TELUR ASINNN !!!

No comments:

Post a Comment