Thursday, July 30, 2009

Masih tentang listrik...

Beberapa saat yang lalu saya mengisi liburan di kota Palu, berkumpul bersama keluarga merayakan Idul Fitri. Satu hal yang paling menonjol yang membedakan kota ini dengan kota-kota lainnya yang pernah saya kunjungi dan tinggali adalah listriknya. Selama 5 tahun saya di Palu, sejak tahun 2003 s.d 2008 masalah ketersediaan listrik tidak kunjung terselesaikan, bahkan makin parah.
Sekarang sudah banyak warganya yang menggunakan genset (baca: pembangkit listrik kecil berbahan bakar bensin/solar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum rumah tangga). Ada juga yang belum memilikinya, mungkin mereka masih yakin keajaiban akan datang, atau karena belum kebagian genset, maklum stoknya juga terbatas. Ketika saya berkunjung ke toko penjual genset, pemilik tokonya bercerita bahwa ia kewalahan memenuhi permintaan masyarakat. Yang bener saja om? Seharusnya bukan mengeluh dengan kata “kewalahan”, ente senang dagangan ente laku keras. Apalagi saya perhatikan harganya di atas harga rata-rata nasional.
Permintaan masyarakat akan listrik ternyata sangat tinggi. Saya yakin jika harus dilakukan perhitungan, biaya produksi listrik yang ditanggung rumah tangga dengan genset pasti lebih mahal daripada membelinya dari PLN. Tetapi mengapa masyarakat rela membayar lebih mahal? Karena listrik termasuk kebutuhan yang sangat penting. Semakin tinggi tingkat pendapatan dan kemakmuran masyarakat, semakin tinggi kebutuhan akan listrik. Kesimpulannya, tidak ada masalah dengan sisi permintaan, masyarakat pasti membutuhkan listrik. Ini seharusnya menjadi insentif bagi produsen untuk terus berproduksi memenuhi permintaan pasar.
Lalu kenapa pasar gagal menyediakan listrik? Kesalahan ada di sisi penawaran/produksi listrik. Penyebabnya? Regulasi yang tidak tepat. Regulasi menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Produsen jadi tidak bergairah melakukan penawaran listrik. Apakah karena adanya si PLN? Iya jelas. PLN melakukan dua jenis kegiatan yang merusak pasar. PLN melakukan monopoli pembelian sekaligus monopoli penjualan listrik. Astaga...
Masih banyak pihak yang bertahan dengan pendapatnya bahwa PLN tidak memonopoli listrik. Bahkan ada dosen saya yang juga berpendapat demikian. Menurut mereka ini, PLN hanya memonopoli distribusinya saja. Apa-apaan ini, menguasai distribusi ala PLN sekarang, berarti jelas menguasai semua muanya baik konsumsi maupun produksi. Dan dimana-mana di dunia ini yang namanya monopoli mengurangi kesejahteraan karena tidak efisien.
Memang pihak swasta diberi kebebasan untuk melakukan produksi listrik, tetapi ketika akan menjualnya, mereka harus menjualnya ke PLN. Ini monopoli konsumsi. Lalu oleh satu satunya PLN yang tiada duanya di Indonesia itu menjual lagi listrik yang telah dibelinya tadi ke masyarakat. Ini monopoli juga namanya.
Tujuan adanya PLN ini memang awalnya mulia pada niatnya. PLN diharapkan mampu mengontrol harga listrik sehingga pemerataan terhadap akses listrik dapat tercapai. Dengan adanya PLN diharapkan bukan hanya masyarakat yang mampu saja yang dapat mengakses listrik, masyarakat kurang mampu pun dapat membelinya. Tetapi setelah sistem ini berjalan, ternyata banyak kekurangannya. Pihak swasta yang memproduksi listrik jadi tidak bergairah untuk memproduksi listrik. Akibatnya pasokan listrik berkurang, padahal kebutuhan masyarakat akan listrik terus meningkat seiring perkembangan perekonomian.
Lalu bagaimana yang baik? Menurut saya, serahkan saja pada mekanisme pasar. Biarkan “tangan-tangan tak nampak” (The invisible hand) yang mengaturnya. Pertemukan langsung pembeli dan penjual. Biarkan kekuatan permintaan dan penawaran yang menentukan harga. Potong jalur distribusi yang rumit dan tidak efisien, ini akan menjawab keluhan PLN selama ini yang katanya selalu merugi. Ya, PLN gak akan rugi lagi, karena PLN sudah tamat. Maksud saya PLN model sekarang yang bekerja dengan monopolinya itu. Artinya refungsionalisasi PLN atau apalah istilah yang tepatnya untuk itu.
Memang ada kekhawatiran bahwa mekanisme pasar di atas akan merugikan konsumen karena harga akan lebih tinggi dan tidak stabil daripada sebelumnya. Mari kita lihat contoh pada awal tulisan ini di atas (kasus pembelian genset). Ini membuktikan bahwa masyarakat lebih membutuhkan ketersediaan listrik daripada harga yang lebih murah tapi listrik langka. Masyarakat bersedia membayar lebih mahal untuk mendapatkan listrik, masyarakat kita bertindak rasional kok, karena memperoleh kepuasan yang lebih dari kondisi sebelumnya.
Disamping itu, mekanisme pasar terbuka memungkinkan banyak pemain di pasar. Masing-masing produsen bersaing merebut hati konsumen untuk membeli listrik hasil produksinya dengan menetapkan harga yang lebih murah dari pesaingnya. Produsen akan berusaha tampil seefisien mungkin. Hal ini akan mendorong pada tingkat harga pasar yang serendah-rendahnya. Ini menguntungkan konsumen namun produsen juga masih memperoleh keuntungan yang wajar. Coba saja bandingkan industri telekomunikasi yang dulu dengan sekarang. Dulu harga kartu perdana dan pulsanya sangat mahal ketika masih dikuasai oleh Telkomsel dengan produk Simpati-nya. Sekarang, ketika produsennya/pemainnya sudah banyak, apa berani Telkomsel menjual seperti harganya dulu? Klo iya, bisa tamat riwayatnya.
Bagaimana dengan infrastruktur yang sudah ada sekarang termasuk jaringan-jaringannya yang sudah sampai ke rumah-rumah? Nah menurut saya, inilah yang harus disediakan dan dikelola oleh negara. Bisa lewat PLN lagi atau lebih baik ganti nama aja deh dengan yang lebih keren. Biaya penyediaan dan pengelolaannya dibebankan kepada produsen yang akan menggunakannya, lewat tarip yang bisa dihitung beradasarkan satuan listrik yang berhasil dijualnya. Produsen akan memperhitungkan biaya ini sebagai biaya produksinya. Tapi harga jual tetap sepenuhnya berada diantara kekuatan permintaan dan penawaran.
Saya bayangkan, dengan cara ini nantinya akan banyak tersedia meteran atau sejenisnya yang lebih simpel di masing-masing rumah/pelanggan. Pelanggan tinggal memilih yang mana yang akan digunakannya sesuai keinginannya.
Untuk merangsang persaingan, perlu regulasi yang mendukung. Peran pemerintah, terutama pemda sangat vital. Pemda harus memberikan insentif terhadap investasi, bisa berupa pajak yang lebih ringan dan birokrasi perijinan yang ringkas. Model ini akan berjalan baik dengan asumsi didukung oleh birokrasi yang bersih dan ringkas. Intervensi pemerintah harus yang mendukung iklim persaingan, bukan malah sebaliknya. Oh ya, mungkin akan berjalan lebih baik lagi jika pengelolaan listrik diserahkan ke pemda masing-masing daerah. Tidak sentralistik seperti sekarang. Tapi ini perlu kajian yang lebih jauh lagi.
Whalah...panjang juga tulisan ini, hehehe, ya...ini Cuma sumbang pikiran sederhana saja dari saya dengan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang saya miliki. Maksud saya, pasti ada hal-hal yang belum saya kuasai betul dengan apa yang saya tulis ini. Silahkan ditanggapi dan dikoreksi, monggo..., ikhlas kok. Saya hanya mencoba mengajak berpikir, sapa tau kita temukan model terbaik. Yang jelas, ini berawal dari kejengkelan saya....hihihi.
Ente pedagang genset, siap-siap beralih profesi

No comments:

Post a Comment